Asam Manis Perjalanan Menghafal Al-Qur’an Anak Kedelapan
“Menghafal nggak
perlu banyak-banyak kok. Cukup 30 juz saja,” kata laki-laki muda
berkacamata itu saat ditemui di MD Building, Jakarta Selatan, Jumat
(17/6).
Ia baru saja mengisi kajian di Sekolah
Analis Kimia, Jakarta Timur. Di sana ia memaparkan banyak hal tentang
Al-Qur’an. Di mana level kewajiban muslim terhadap Al-Qur’an ada
beberapa level yakni membaca, menghafal, memahami, mengamalkan dan
mengajarkan.
Namanya Muhammad Saihul Basyir. Ia tak
lain adalah anak dari Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga
(BPKK) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Wirianingsih.
“Karakter cinta Al-Qur’an ditanamkan
sejak kecil banget oleh bapak ibu,” ucap mahasiswa semester tiga jurusan
Syariah LIPIA Jakarta ini.
Waktu masih kecil di rumahnya setiap
hari selalu disetel murottal Al-Qur’an melalui kaset atau radio.
Bapaknya ketika umrah atau ketika ada tetangga umrah selalu nitip kaset
murottal Syeikh Sudais dan imam-imam Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.
“Sampai saat ini kebiasaan tersebut tetap ada,” katanya.
Televisi memang ada tapi dibatasi,
katanya, sehari hanya dua jam. “Paling nonton berita atau
program-program bermanfaat,” ucapnya.
Yang ditekankan di keluarga adalah
interaksi dengan Al-Qur’an. Target dari keluarganya biasanya target
panjang, seperti setelah SMA sudah harus selesai hafalan 30 juznya ya.
“Terserah bagaimana caranya, diserahkan ke kami. Bapak dan ibu ngasih
rekomendasi dan tempat yang cocok untuk menghafal yang di situ ada
program tahfidznya.” katanya Basyir yang menuntaskan hafalannya di
SDIT Al-Hikmah Jakarta Selatan.
Ketika datang masa liburan sekolah
biasanya langsung ditanya sama bapak dan ibunya sudah sejauh mana
hafalan Al-Qur’annya. Dievaluasi satu-satu. Jika tidak memenuhi target
akan dicarikan jalan keluarnya. Sementara bagi anggota keluarga yang
masih SMA biasanya waktu liburan tidak benar-benar libur. Mereka
biasanya dirumahqurankan.
“Hanya pindah tempat saja. Seperti adik
perempuan yang terakhir, misalnya. Dia kan sekolah di Incen (Insan
Cendekia Serpong) setiap pulang dia tidak di rumah. Masuk ke RQ (Rumah
Qur’an) Depok yang punya Ustadz Muslih. Alhamdulillah akhir tahun
kemarin selesai hafalannya.”
Dengan diterapkan amanah seperti itu
dari orangtua, Basyir merasakan asam manis dalam menghafalkan Al-Qur’an.
Menemukan keseruan namun juga beban. “Having fun bagus tapi beban bagus juga. Saya awal-awal juga beban, ngeluh
mau pindah pesantren. Akhirnya pindah ke SDIT Al-Hikmah tapi diminta
janji harus selesai hafalan, ya udah akhirnya selesai,” kata laki-laki
yang mengaku tidur hanya tiga jam sehari.
Sesama saudaranya juga ada yang sangat tangguh, ada yang cengeng banget,
katanya. Ada yang secara natural nggak cocok dengan pesantren maunya
SMA negeri tapi janji mau menuntaskan hafalan Al-Qur’an dan akhirnya
komitmen untuk menyelesaikan.
Menurutnya, target menghafal Al-Qur’an
tidak sampai hanya menghafal saja. Sambil menghafal, sambil menjaga dan
memahami. Ia menekankan pada diri untuk tidak pernah puas dengan capaian
hafal sebelum memasuki ranah bagaimana menjaganya. Untuk menjaga itu
butuh metode, katanya. Ia sendiri ketika kelas enam sempat melepas
begitu saja hafalan 30 juznya tanpa menjaganya.
“Ketika disuruh baca ini dan itu
tiba-tiba nggak bisa. Itu kan jadi beban dan dosa. Harus yakin dulu agar
menjadi motivasi dasar kita. Ketika kita nanti memasuki proses
murajaahnya kita merasa malas, kita letih, kita diyakinkan dengan ‘oh
kita punya beban hafalan nih, kalau nggak murajaah nanti jadi dosa’.
Paling tidak itu di luar motivasi lain,” kata anak Mutammimul Ula,
mantan anggota DPR RI dari fraksi PKS ini.
Bukan berarti segalanya berjalan lempeng, Basyir juga pernah mengalami masa futur.
Post a Comment