Ini Catatan Akhir Tahun Jokowi-JK di Bidang Ekonomi
Jakarta (21/11) –
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Refrizal memberikan catatan
akhir tahun 2016 Pemerintahan Jokowi-JK, di bidang Perekonomian
Indonesia. Dalam penilaian Refrizal, salah satu salah satu kelemahan
pemerintah Jokowi adalah soal ketidakmampuannya mengubah struktur PDB
Indonesia yang masih didominasi oleh peranan sektor konsumtif.
“Struktur PDB Indonesia di 2 tahun
pemerintahan Jokowi-JK masih tidak berubah. Peranan belanja rumah tangga
masih sangat dominan. Bahkan sektor ekspor dan impor yang diharapkan
dapat tumbuh dengan baik ternyata malah berperan lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya,” jelas Refrizal di Jakarta, Senin
(21/11).
Di sisi lain, peranan investasi langsung
pada Triwulan III-2016 cenderung melambat, hanya 31,98 persen sedangkan
pada Triwulan II-2016 mencapai 32,47 persen dan pada Triwulan III-2015
mencapai 32,36 persen.
“Data-Data tersebut mengonfirmasi bahwa
masih banyak persoalan investasi di Indonesia. Meski pemerintah telah
mengeluarkan paket kebijakan namun persoalan-persoalan mendasar belum
terselesaikan. Beberapa diantaranya adalah masalah perizinan di daerah
dan ketersediaan infrastruktur,” ungkap wakil rakyat dari Daerah
Pemilihan Sumatera Barat II ini.
Peringkat cost doing business Indonesia, papar
Refrizal, sedikit membaik menjadi urutan ke 91 dari 106 negara. Hanya
saja berbagai indikator masih jauh di bawah rata-rata negara Asia
Pasifik, seperti memulai usaha. Sayangnya berbagai data yang digunakan
dalam cost doing business hanya diwakili oleh Jakarta dan Surabaya, sehingga tidak mencerminkan kondisi Indonesia seutuhnya.
“Satu hal yang krusial hingga 30
September 2016, realisasi penerimaan negara baru mencapai Rp 1.081,9
triliun atau 60,6% dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai
APBN-P 2016 sebesar Rp 1.786,2 triliun padahal pemerintah sudah
menggulirkan program tax amnesty. Diharapkan dalam 3 (tiga) bulan tersisa kekurangan target penerimaan negara dapat tercapai,” tegas Refrizal.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun ini diperkirakan hanya 5,1 persen, sedangkan pertumbuhan
perekonomian global tahun 2016 diperkirakan sebesar 3,1 persen. Isu-isu
global seperti Brexit, permasalahan utang China, injeksi fiskal Jepang
yang belum cukup berhasil, hingga terpilihnya presiden AS Donald Trump,
membuat kondisi perekonomian global semakin tidak pasti, hal-hal ini
membuat konsumen cenderung menahan belanja.
Padahal, struktur PDB Indonesia
didominasi oleh peranan belanja rumah tangga. Untuk itu, ditengah
ketidakpastian global, melambatnya realisasi investasi dan seretnya
realisasi penerima negara diharapkan pemerintah dapat melakukan sinergi
antar kelembagaan, termasuk dengan BUMN.
“Untuk mendukung tercapainya target
penerimaan negara, pemerintah harus saling bersinergi. Tidak tumpang
tindih dalam mengeluarkan kebijakan dan memperkuat peran-peran
pembangunan BUMN” jelas Refrizal.
Salah satu cermin tidak terkonsolidasi
tim ekonomi pemerintah dengan baik adalah soal polemik revisi PP 52/2000
dan PP 53/2000 yang berkembang sejak Agustus 2016. Revisi PP 52/2000
dan PP 53/2000 ini disinyalir akan mengubah peta industri telekomunikasi
di Indonesia salah satunya adalah karena diberlakukannya kewajiban network sharing dan diperbolehkannya frequency sharing antar operator.
“Salah satu contoh konsolidasi antar
lembaga pemerintah yang lemah tercermin dalam revisi PP 52/2000 dan PP
53/2000. Revisi kedua PP ini akan menyebabkan potensi hilangnya
pendapatan negara dalam 5 tahun kedepan sekitar Rp 100 triliun dan
hilangnya pendapatan BUMN sebesar Rp 200 triliun. Apalagi disinyalir isi
revisi PP ini bertentangan dengan UU di atasnya," papar Refrizal.
Apalagi pemerintah melalui jargon
Nawacita nya menegaskan akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Revisi
PP ini berpotensi menghambat pembangunan di daerah terpencil dan
terluar.
“BUMN adalah salah satu agen pembangunan
yang dapat mewujudkan visi-misi pemerintah. BUMN dapat berperan
melakukan pembangunan didaerah-daerah terpencil dengan
penugasan-penugasan. Untuk itu, pemerintah harus pula memperkuat peran
BUMN dalam pembangunan dan memandangnya sebagai mitra,” tegas Refrizal.
Secara umum, Peraturan Pemerintah tidak
boleh bertentangan dengan UU yang ada di atasnya. Revisi PP 52/2000 dan
PP 53/2000 berpotensi bertentangan dengan UU No 36/1999 tentang
Telekomunikasi.

Post a Comment