Pergantian Pimpinan DPR
Wakil Rektor Universitas Indonesia, Dosen Hukum Tata Negara FHUI.
Dimuat di Harian Republika Hal. 6 Senin, 09 Mei 2016
Pemberitaan seputar parlemen merupakan salah satu tema yang paling
banyak mendapat tempat di media massa. Tapi, beritanya tidak semua
terkait fungsi DPR sebagai tempat pembentukan legislasi, pelaksana
pengawasan terhadap pemerintah, dan pemberi persetujuan anggaran negara.
Yang kian mengkhawatirkan adalah pimpinan DPR merupakan salah satu
pabrik isu di luar fungsinya. Publik dipaksa membuang energi untuk
berdebat tentang kehadiran pimpinan DPR di kampanye Donald Trump, 'papa
minta saham', kocok ulang pimpinan, dan kini permintaan pergantian
pimpinan DPR oleh PKS.
Tulisan ini mengajak pembaca, khususnya pihak terkait untuk 'menghemat
energi' dengan mengusulkan penyederhanaan masalah. Pimpinan DPR sekarang
sedang berhadapan dengan usulan pergantian salah satu pimpinan (Fahri
Hamzah) yang diajukan partainya.
Sebaiknya, pimpinan DPR merespons persoalan ini dengan sederhana sesuai
peraturan tanpa perlu berlarut-larut, sehingga memicu kontroversi dan
berkembang menjadi isu politik lain. Jika melihat UU No 17 Tahun 2014
yang mengatur kelembagaan DPR (UU MD3), dinyatakan bahwa pimpinan DPR
tidak terlepas dari partai politiknya.
Mereka diusulkan oleh fraksinya (Pasal 4 ayat (4)), dapat diberhentikan
oleh partainya (Pasal 87 ayat (2) huruf d dan e), bahkan di Pasal 87
ayat (4) disebutkan, "Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari
jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal
dari partai politik yang sama." Pembentuk UU ingin memastikan pimpinan
DPR terikat oleh parpolnya dan menjadi hak partai untuk pengusulan dan
perubahan kedudukan pimpinan DPR.
Dalam Peraturan Tata Tertib DPR yang merupakan pengaturan lebih lanjut
tentang kelembagaan DPR terdapat pengaturan serupa dengan mekanisme
lebih rinci. Namun, secara prinsip kedudukan fraksi atau parpol sebagai
pihak yang mengusulkan dalam pemilihan dan berhak melakukan pergantian
tidak berbeda pengaturannya. UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR
menyebutkan, pimpinan DPR dapat diberhentikan karena alasan yang jika
dibuat kategorisasi dapat dibagi menjadi tiga jenis kondisi.
Pertama, pimpinan DPR diberhentikan karena alasan personal, yaitu tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
selama tiga bulan berturut-turut tanpa memberi keterangan (Pasal 37
huruf a). Kedua, pimpinan DPR diberhentikan karena melakukan pelanggaran
yang dibagi menjadi tiga jenis; pelanggaran sumpah atau kode etik,
pelanggaran ketentuan larangan dalam UU MD3, dan pelanggaran hukum
(Pasal 37 huruf b, c, dan f).
Ketiga, pimpinan DPR diberhentikan karena kehendak partainya. Kategori
ini disebutkan dalam UU dan Peraturan Tata Tertib yang terbagi menjadi
tiga jenis, yaitu diusulkan diganti oleh parpolnya, ditarik
keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya, dan
diberhentikan sebagai anggota parpol (Pasal 36 huruf d, e, dan g).
Alasan pemberhentian untuk kategori pertama dan kedua tidak banyak
kontroversi. Kategori pertama bisa dibuktikan secara faktual dari
keberadaan pimpinan dalam aktivitas di DPR. Kategori kedua,
pelaksanaannya tinggal menunggu putusan lembaga peradilan untuk
menerapkan alasan tersebut, baik peradilan pidana untuk pelanggaran
hukum ataupun mahkamah kehormatan dewan untuk pelanggaran sumpah atau
kode etik dan pelanggaran terhadap larangan dalam UU MD3.
Untuk penggunaan alasan kategori ketiga seharusnya juga minim
kontroversi karena pengaturan seputar masalah ini sudah cukup lengkap.
Pembentuk UU dan tata tertib DPR sangat memahami tingkatan pola hubungan
anggotaparpol yang menjadi pimpinan DPR dengan parpolnya.
Tingkatan pertama, parpol dapat mengusulkan pergantian pimpinan DPR saja
tanpa mengubah status keanggotaan sebagai anggota DPR atau
keanggotaannya dalam partai. Tingkatan kedua, parpol menarik keanggotaan
pimpinan sebagai anggota DPR yang akibatnya harus terjadi pergantian
pimpinan karena pimpinan DPR harus diisi oleh yang berstatus anggota
DPR. Dalam kategori ini, keanggotaannya di partai tetap melekat.
Tingkatan ketiga, parpol memberhentikan pimpinan dimaksud sebagai
anggota partainya, sehingga kehilangan status sebagai anggota DPR dan
tentu berimplikasi kehilangan juga jabatannya sebagai pimpinan DPR.
Dalam tingkatan ini, dia kehilangan tiga status sekaligus; sebagai
pimpinan DPR, anggota DPR, dan anggota partainya.
Alasan kategori ini dapat disimpulkan dalam frasa "pimpinan DPR
diberhentikan karena kehendak partai politik dari mana ia berasal". UU
MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR memang memberi posisi menentukan bagi
parpol untuk anggotanya yang duduk sebagai pimpinan DPR.
Pemberian tingkatan ini ingin menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis
hubungan parpol dengan anggotanya yang menduduki jabatan sebagai
pimpinan DPR. Dengan diberi tingkatan ini, jelas prosedur penerapan
masing-masing alasan.
Pada tingkatan pertama terjadi pergantian pimpinan DPR dengan mekanisme
paling sederhana. Parpol membuat keputusan eksklusif, seperti pergantian
yang bisa dilakukan partai terhadap anggotanya di alat kelengkapan DPR
lainnya. Mekanisme melaksanakan usulan partai mengganti pimpinan
semuanya terjadi di DPR, tidak perlu keterlibatan lembaga lain, termasuk
pengadilan.
Tidak seperti pada tingkatan ketiga ketika terjadi pemecatan yang
memungkinkan perselisihan di pengadilan. Pengujian atas keputusan partai
hanya bisa dilakukan di rapat paripurna yang diberi kewenangan
menyetujui dan menetapkan. Namun, paripurna tetap tidak dapat memutuskan
untuk menetapkan anggota di luar parpol dari pimpinan yang digantikan
karena ada ketetentuan di Pasal 7 ayat (4) UU MD3 bahwa pimpinan yang
diganti harus berasal dari partai yang sama.
Agenda menyetujui dan menetapkan pergantian pimpinan diusulkan pimpinan
DPR di rapat paripurna. Sebenarnya, pimpinan DPR bisa dengan sederhana
melaksanakan pergantian pimpinan dengan meneruskan usulan partai ke
rapat paripurna dan membiarkan paripurna menentukan putusannnya.
Menjadi sulit jika pimpinan DPR tidak hanya bertindak sebagai alat
kelengkapan dewan yang memfasilitasi pelaksanaan mekanisme kelembagaan
dewan, bahkan ikut campur masalah internal parpol yang ingin anggotanya
yang menjadi pimpinan DPR diganti. Pimpinan akan menunda atau menolak
mengagendakan pergantian pimpinan.
Walaupun, seharusnya berdasar UU dan Tata Tertib DPR tidak ada alasan
bagi pimpinan untuk menghalangi partai mengusulkan pergantian anggotanya
yang menjadi pimpinan DPR. Tidak ada mekanisme apa pun yang perlu
ditunggu penyelesaiannya, pengujian terhadap agenda ini hanya rapat
paripurna dewan.
Putusan pimpinan DPR menunda atau tidak mengadendakan usulan itu di
rapat paripurna bisa dikatakan menghalangi kedaulatan anggota DPR,
bahkan ikut campur persoalan internal parpol. Pimpinan DPR melibatkan
diri pada yang bukan kewenangannya.
Kondisi ini bisa menjadi preseden buruk dan memicu ketidakpercayaan yang
semakin surut kepada mereka. Dalam kasus usulan pergantian pimpinan DPR
dari Fahri Hamzah kepada Ledia Hanifa oleh PKS, pimpinan DPR seharusnya
melaksanakan dengan sederhana seperti digambarkan di atas.
Kepada pimpinan DPR, PKS mengusulkan pergantian pimpinan yang menjadi
haknya sebagaimana diatur di UU MD3 dan Tata Tertib DPR. Pimpinan DPR
tidak beralasan menunggu proses pengadilan karena pengadilan pun tidak
berwenang memutuskan mengenai usulan partai pergantian pimpinan DPR.
Jika pimpinan memosisikan diri sebagai pimpinan kolektif yang
memfasilitasi pelaksanaan fungsi DPR, hal ini akan membantu mereka tidak
terlibat kontroversi politik. Pemahaman pimpinan DPR seperti ini juga
akan menghalangi isu lain, termasuk kontroversi kocok ulang pimpinan.
Mari kita menunggu lahirnya agenda-agenda besar dan berdampak terhadap
kesejahteraan rakyat dari gedung dewan, bukan isu personal, konflik
politik internal, penyelewengan moral, dan isu lain yang notabene bukan
pelaksanaan fungsi DPR.
Sumber: Harian Republika

Post a Comment