16 Kunci untuk Dapat Memahami dan Berinteraksi dengan Al-Quran
Berikut ini 16 kunci agar kita dapat memahami dan berinteraksi dengan Al Qur'an.
-
Memahami al-Quran sebagai kitab yang syamil mencakup seluruh urusan kehidupan.
Al-Quran adalah kitab yang syamil, manhaj hidup yang sempurna, memiliki tabiat gerak yang hidup, membangun peradaban yang positif dan tetap berpengaruh sampai akhir zaman.
Sebagian orang terperangkap untuk memandang Al-Quran dan satu sisi saja, misalkan hanya memandang Al-Quran dan ilmu pengetahuannya saja, sejarahnya saja, bahasanya saja, ataupun Al-Quran hanya dijadikan jampi-jampi sebagai obat saja, dsb.
Kita tidak mengingkari bahwa semua hal itu dicakup oleh Al-Quran, bukan kita tidak mempelajari bagian-bagian itu semua tapi yang tidak boleh ialah hanya menghususkan diri kita pada satu sisi saja.
Ada sebagian ulama yang membahas Al-Quran dari sisi akhlaq, sisi ekonomi, sosiologi, tata bahasa dan lain-lain. Ini adalah usaha yang sangat berharga dan kita tidak bisa mengesampingkannya. Tapi hendaklah orang yang mempelajari Al-Quran memahami bahwa Al-Quran adalah satu kerangka yang menyeluruh, menyeluruh dalam tabi’atnya, peranannya, risalah, mu’jizat, ilmu, tema-temanya, manhaj, undang-undang dan syari’atnya serta setiap perkara yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.
-
Memfokuskan kepada tujuan utama Al-Quran.
Sebagian manusia menggunakan Al-Quran dengan tujuan sampingan, tujuan furu’iyah atau sama sekali tidak sesuai dengan tujuan Al-Quran diturunkan. Seperti Al-Quran dijadikan untuk perlombaan, Al-Quran dibaca untuk orang mati saja, Al-Quran hanya diambil barakahnya dengan dijadikan azimat, ruqa’ dan tamimah. Al-Quran hanya dijadikan pajangan yang menghiasi rumah, mobil atau tempat-tempat lain.
Mereka tidak menggunakan Al-Quran untuk membukakan hati, jiwa, perasaan dan
akal, sehingga mereka hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dalam seluruh lapangan kehidupan, baik kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat, pendidikan, ekonomi, yayasan-yayasan, negara dan sebagainya.
Tujuan utama Al-Quran berkisar pada empat perkara berikut ini:
-
Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus menuju Allah (Al-Isra: 9,
as-Syura: 52, al-Maidah: 15 – 16).
-
Membentuk kepribadian muslim yang seimbang. Diantaranya adalah:
-
Menanamkan iman yang kuat.
-
Membekali akal dengan ilmu pengetahuan.
-
Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dan
sumber-sumber kebaikan yang ada di dunia.
-
Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
-
Menanamkan iman yang kuat.
-
Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur’ani, yaitu
masyarakat yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang merupakan
penjelmaan Al-Quran dalam setiap gerak kehidupannya. Masyarakat yang
diasuh dan dibimbing dengan arahan Al-Quran, hidup di bawah naungannya,
dan berjalan di bawah cahayanya, seperti masyarakat sahabat (al-Anfal
24).
-
Membimbing umat dalam memerangi kejahihiyyahan.
-
Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus menuju Allah (Al-Isra: 9,
-
Memperhatikan sisi harakah dalam menegakkan dakwah, jihad dan hukum
Islam, karena Al-Quran memiliki sifat (waqi’iyah harakiyah):
-
Jidiyatul harakiyah.
-
Harakah dzatu marahil.
-
Harakah daibah walwail mutajaddidah.
-
Syari’at mengatur hubungan dengan kelompok non muslim.
-
Jidiyatul harakiyah.
-
Menjaga suasana pemikiran agar selalu ada dalam bingkai topik permasalahan yang terkandung dalam ayat yang sedang dibaca.
Ketika membaca Al-Quran diperbolehkan untuk memperdalam satu ayat dari sisi ilmu pengetahuan, dan sisi tata bahasa atau yang lainnya, tapi hendaknya, perasaan, pemikiran, penghayatannya dan perhatiannya tetap pada pokok pikiran ayat yang sedang dibaca.
-
Menjauhi bertele-tele yang bisa menghalangi cahaya Al-Qur’an.
Misalnya tenggelam dalam perbedaan pendapat tentang qiraat, i’rab, balaghah, asal kata, perbedaan-perbedaan masalah fiqih, mempertentangkan tokoh, tempat, tanggal kisah-kisah yang diungkap dalam Al-Quran. Misalnya mempertentangkan asal kata Malaikat, berapa jumlah Ashabul Kahfi dan lain-lain.
Tapi itu semua bukan berarti tidak boleh dilakukan, boleh dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam ilmu tafsir.
-
Menjauhi Israiliyyat (cerita-cerita palsu) dan menjauhi dari mempermasalahkan ayat-ayat yang mutasyabihat.
-
Memasuki Al-Quran tanpa didahului oleh asumsi dan opini tertentu.
Hal ini untuk menghindarkan agar makna-makna Al-Quran tidak dipaksakan agar sesuai dengan asumsi yang telah dia pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi atas pendapat yang ia pegang dan bukan mempelajari Al-Quran untuk meluruskan pemahaman dia.
Seperti yang dilakukan oleh para shahabat apabila mereka membaca Al-Quran mereka melepaskan seluruh keyakinan dan persepsi mereka yang mereka pegang ketika masa jahiliyyah.
-
Tsiqah secara mutlak terhadap semua petunjuk, perintah, larangan dan berita yang diungkapkan oleh Al-Quran.
-
Memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam Al-Quran.
Di dalam Al-Quran terdapat rahasia-rahasia arti yang terkandung yang tidak akan dipahami kecuali oleh orang-orang yang telah memilki kunci-kunci untuk berinteraksi dengan Al-Quran dan ia memiliki bashirah, limpahan keimanan dan kesiapan untuk hidup di bawah naungan Al-Quran.
Seperti ayat keimanan mendorong orang untuk merasa diawasi oleh Allah, membaca tentang hari qiamat tergerak hatinya untuk takut akan adzab Allah, kemudian ia mampu memahami hubungan satu ayat dengan yang lain padahal ayat itu diturunkan dalam senggang waktu yang cukup jauh.
-
Mempunyai pemahaman bahwa satu kata atau kalimat dalam Al-Quran
mempunyai beberapa pengertian.
Karena ayat Al-Quran sering diungkapkan dengan kalimat yang singkat tapi padat (I’jaz), seperti surat Al-Ashri, Imam Syafi’i mengatakan: “Kalaulah manusia mentadabburi surat al-Ashri tentu surat itu sudah cukup bagi mereka sebagai pegangan hidup” . Contoh lain al-Isra’: 16; al-Mujadilah: 5; al-A‘raf: 34; dan Thaha: 124.
-
Mempelajari realita shahabat dalam pengamalan al-Quran.
Ibnu Mas’ud berkata, “Kami sulit menghafal lafadh Al-Quran tapi mudah mengamalkannya sedang orang sesudah kami mudah untuk menghapal tapi sulit mengamalkannya.”
Ibnu Umar berkata, “Para shahabat diberi iman sebelum Al-Quran, sehingga Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad menjelaskan hukum halal dan haram, lalu mereka berpegang teguh dengan ayat tersebut.”
Contoh, ketika turun ayat yang memerintahkan untuk mengalihkan arah qiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram maka mereka serentak melaksanakan dengan penuh ketaatan dan komitmen.
-
Memahami bahwa Al-Quran tidak dibatasi dengan tempat dan zaman.
-
Memahami korelasi ayat-ayat Al-Quran dengan realita yang ada sekarang.
-
Merasa bahwa ayat-ayat Al-Quran ditujukan kepada dirinya.
-
Mempelajari Al-Quran dengan manhaj talaqqi yang benar
(berhadap-hadapan dengan guru yang sudah diverifikasi bacaannya, bahkan
kalau bisa ada silsilahnya sampai nyambung ke Rasulullah saw).
-
Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat para ahli tafsir.
Post a Comment