Shortfall Penerimaan Perpajakan Berisiko Bagi Keuangan Negara
Jakarta (6/12) –
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal
Mucharam menilai realisasi penerimaan perpajakan yang masih jauh dari
target yang telah ditetapkan di APBN (shortfall) pada tahun 2016 ini, akan berisiko bagi keuangan negara.
Kondisi tersebut, jelas Ecky, membuat
kondisi keuangan menjadi mengkhawatirkan karena realisasi penerimaan
perpajakan hingga akhir tahun dinilai hanya kurang dari 85 persen dari
target di APBN.
“Kalau kita lihat perkembangannya,
sampai akhir tahun sepertinya realisasinya hanya mencapai kurang 85
persen. Saya kira ini adalah kinerja yang buruk, padahal pemerintah
sudah gunakan Pengampunan Pajak (tax amnesty) juga. Tertangkap
tangannya petugas pajak oleh KPK juga memunculkan pertanyaan publik akan
efektifitas reformasi pada institusi perpajakan kita,” papar Ecky di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/12).
Sebagaimana diketahui, berdasarkan data
realisasi pajak per 31 Oktober 2016, penerimaan perpajakan baru mencapai
Rp 986,6 triliun atau 64,1 persen dari target APBN 2016, yaitu sebesar
Rp1.539,2 triliun. Realisasi pajak tersebut sedikit lebih baik
dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya (yoy) senilai Rp893,9
triliun dari Rp1.489,3 triliun atau sebesar 60 persen.
“Dengan data tersebut kita bisa melihat
kenaikan penerimaannya belum signifikan padahal sudah memasukkan hasil
tebusan dari Pengampunan Pajak. Jadi efektifitas secara keseluruhan
tidak nampak. Secara umum ini mengindikasikan adanya trade-off antara tax amnesty dengan target penerimaan pajak secara regular,” jelas Anggota Komisi XI DPR RI ini.
Ecky menambahkan, jika benar prognosa
penerimaan perpajakan tahun 2016 hanya di kisaran 85 persen, hal ini
akan mengulang kondisi tahun sebelumnya. Ecky memberikan catatan khusus
atas tidak tercapainya target penerimaan perpajakan tahun 2015, yang
hanya tercapai sebesar 83,2 persen atau setara dengan Rp1.240 triliun
dari target APBNP 2015. Hal ini lebih rendah dari pencapaian penerimaan
perpajakan tahun 2014 yang mencapai 92,04 persen, dan 2013 yang mencapai
93,81 persen serta tahun 2012 yang mencapai 94,4 persen.
“Ini harus menjadi pelajaran berharga,
dimana pencapaian penerimaan perpajakan masih membutuhkan
langkah-langkah terobosan yang kuat. Upaya untuk mencapai target harus
dijalankan lebih kredibel karena akan berpengaruh signifikan terhadap
komponen-komponen lain dalam APBN, terutama realisasi defisit dan utang,
serta beban biaya bunga utang yang akan ditanggung ke depan,” jelas
wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Barat III yang meliputi Kota
Bogor dan Kabupaten Cianjur ini.
Dampak lain yang signifikan ke depan
menurut Ecky adalah risiko pemotongan anggaran akan berulang. Diketahui,
sepanjang tahun 2016, pemerintah telah melakukan pemangkasan anggaran
dengan total Rp137,6 triliun, yang terdiri dari transfer daerah dan dana
desa sebesar Rp72,9 triliun dan anggaran kementerian dan lembaga
senilai Rp64,7 triliun.
Kementerian Pertahanan menjadi
kementerian yang mendapat pemangkasan anggaran terbesar dengan nilai
Rp7,3 triliun. Selanjutnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat dipangkas Rp6,9 triliun dan anggaran Kementerian Pertanian
dikurangi Rp5,9 triliun. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mendapat
jatah pemotongan anggaran sebesar Rp5,5 triliun, Kementerian Perhubungan
Rp4,7 triliun, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp3,9 triliun,
serta Kementerian Kelautan dan Perikanan dipotong Rp3 triliun.
“Pemotongan anggaran di tengah tahun
anggaran menimbulkan dampak pada koreksi ekonomi dan pelambatan
pertumbuhan secara keseluruhan. Karena belanja pemerintah sebagai driver ekonomi lainnya mengalami koreksi signifikan,” jelas Ecky.
Untuk meningkatkan penerimaan perpajakan
ke depan, Ecky memandang pemerintah harus bersungguh-sungguh mencari
terobosan. Pemerintah perlu secara serius dan tegas dalam menggali
sektor-sektor yang masih under-tax.
“Pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan pada dasarnya masih jauh dari optimal. Tax ratio yang stagnan dan bahkan menurun beberapa tahun terakhir perlu menjadi perhatian serius,” lanjut Ecky.
Berdasarkan data Direktorat Perpajakan,
jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya sebesar 30,04 juta (2,4 juta WP
Badan, 5,24 juta WP Pribadi Non-karyawan dan 22,4 juta WP Pribadi
Karyawan). Padahal, menurut data BPS jumlah pekerja di Indonesia
mencapai 93,72 juta, atau artinya hanya 29,4% yang terdaftar sebagai
wajib pajak.
“Salah satu kebijakan besar untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan perpajakan yang belum diselesaikan
pemerintah adalah reformasi perpajakan, yang menjadi prasyarat penting
untuk meningkatkan penerimaan perpajakan secara komprehensif dan
berkelanjutan,” tutur alumnus STAN ini.
Pemerintah juga perlu meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta menurunkan tingkat tax evasion dan mereduksi praktik transfer pricing
khususnya oleh perusahaan asing. Pemerintah juga perlu lebih serius
untuk melanjutkan pengusutan penggelapan pajak dari aktivitas 2.000 PMA
dengan potensi pajak yang hilang mencapai Rp500 triliun yang sering
disampaikan Menteri Keuangan pada berbagai media sebelumnya.
“Hal yang juga penting adalah reformasi
Dirjen Pajak dan pemenuhan kebutuhan SDM yang berintegritas tinggi.
Tidak boleh lagi ada pengkhianat yang melakukan korupsi dan meruntuhkan
kepercayaan publik pada institusi pajak,” tutup Ecky.
Post a Comment