Di tengah keriuhan politik lokal dan
nasional, keluarga besar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berduka atas
kepergian KH Ruslan Effendi (68 tahun). Perintis dakwah yang sezaman
dengan allahuyarham KH Rahmat Abdullah itu wafat sebagai seorang da’i,
bukan politisi, dan berwasiat untuk dimakamkan di sisi sahabatnya di
Taman Pemakaman Iqra, Pondok Gede.
Ustadz Lani, demikian panggilan
akrabnya, sebenarnya tak ingin disebut Kiai. Bukan karena tak mengelola
pesantren, melainkan karena ingin dekat dengan semua kawan dakwahnya.
Tak hendak membangun jarak berdasarkan senioritas dalam pergerakan.
Karena itulah, anggota Dewan Syariah di Majelis Zikir Az-Zikra (pimpinan
M. Arifin Ilham) itu biasa mengikuti mukhayam (perkemahan dakwah) tanpa
fasilitas khusus atau ikut berjalan kaki dalam demonstrasi di panas
terik matahari. Bahkan, Ustadz Lani kerap membina anak-anak Taman
Pendidikan Al-Qur’an di masjid dekat rumahnya dan mengisi majelis taklim
Riyadhus Shalihin.
Akan halnya panggilan ‘Ustadz’ telanjur
menjadi cap generik bagi kader PKS di tengah masyarakat, seolah-olah
semua anggota PKS memiliki kapasitas mengajar ilmu keislaman. Semoga itu
pertanda positif akan kehadiran sebuah entitas politik yang membawa
misi dakwah, meskipun ada yang sinis, betapa PKS mengeksploitasi atau
mempolitisasi dakwah Islam. Bang Lani, begitu jamaahnya lebih suka
menyapa, seakan membantah semua anggapan itu. Kader PKS tak pernah
merasa diri pantas disebut ‘Ustadz’ karena harus terus belajar, mengejar
ilmu dan kearifan hidup. Anggota PKS juga tak berniat mempolitisasi
dakwah, menjadikan dakwah sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik,
tetapi hanya ingin memperbaiki kondisi masyarakat, salah satunya lewat
jalur politik. Jalur lain, sosial-budaya dan pemberdayaan ekonomi juga
dilakoni kader PKS, tapi jarang disorot publik.
Bang Lani adalah sosok yang tepat untuk
menggambarkan jati diri PKS yang terus berproses (in making), menemukan
akar pemikiran dan perjuangan di kancah publik. Selama ini orang
memandang PKS (didahului oleh Partai Keadilan/PK) sebagai aktor baru
yang lahir pasca Reformasi 1998. Secara teoretik, PK/PKS dikategorikan
produk Muslim-urban, dan lebih khusus lagi, berbasis kalangan muda
terpelajar. Kaum kiri di Indonesia acap mengkritik, eksponen PKS sebagai
anak kandung Orde Baru dan mencuri peluang politik yang terbuka saat
runtuhnya rezim Soeharto. Kritik yang terlalu menggampangkan masalah dan
memandang perubahan sejarah modern Indonesia hanya didominasi satu
pihak.
Bang Lani dan juga sahabatnya, Rahmat
Abdullah, adalah contoh paling nyata bahwa PKS benar-benar anak kandung
sejarah dan budaya Indonesia. Sebagian orang ada yang berteori, bahwa
PKS merupakan produk ideologi politik Timur Tengah yang ditransmisi ke
Indonesia melalui gerakan transnasional (lihat M. Imdadun Rahmat, 2008).
Ada lagi, pengamat asing yang berteori, PKS dan partai-partai Islam
segaris dengan gerakan radikal dan kelompok teroris (Zachary Abuza,
2007). Teori itu tak berdasar dan dilupakan orang, tapi sesekali muncul
mengganggu persepsi publik pada momen pemilu atau pilkada.
Ustadz Lani bersama Ustadz Rahmat Abdullah Semasa Mudanya
Kader PKS sendiri tak begitu peduli
dengan berbagai tudingan aneh, tapi masih kesulitan untuk berkomunikasi
dengan publik yang majemuk. Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS,
Suharna Surapranata adalah salah seorang tokoh perintis yang paling
serius untuk mencari: jangkar sejarah PKS dalam medan amal perjuangan
Indonesia. Untuk itu, Kang Harna merumuskan paradigma dakwah PKS sebagai
obyektivikasi nilai-nilai universal Islam dalam kerangka transformasi
bangsa. Kang Harna yang low profile itu adalah aktivis Masjid Kampus ARH
Universitas Indonesia era 1970-an, juniornya Bang Imaduddin Abdulrahim
(dari Masjid Salman ITB). Suharna tidak hanya berteori tentang relevansi
gerakan Islam dalam dinamika Indonesia kontemporer, melainkan
berkontribusi langsung saat menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi
(2009-2011) dengan merancang Sistem Inovasi Nasional dan blue
print pengembangan SDM sebagai pengungkit daya saing nasional.
Kontribusi kader PKS dalam bidang pemikiran kenegaraan dan reformasi
birokrasi masih kurang dielaborasi pengamat.
Kepergian para perintis seperti Bang
Lani, Rahmat Abdullah, KH Acep Abdul Syukur, Makmur Hasanuddin dan
lain-lain mengingatkan kader PKS untuk mewariskan tongkat estafeta
perjuangan kepada generasi baru yang mungkin tak sempat mengenal dakwah
lebih mendalam. Sebagian akar sejarah PKS dapat ditelusuri dari jejak
Bang Lani dan Rahmat Abdullah yang tergolong murid KH Abdullah Syafi’i
(tokoh legendaris Betawi, pimpinan Ponpes As-Syafi’iyah). Jika Bang Lani
merefleksikan kemurnian dan ketegasan aqidah, maka Ustadz Rahmat
(dijuluki ‘Sang Murabbi’) memancarkan kepekaan moral dan seni-budaya,
aspek yang sering diabaikan dalam potret gerakan Islam kontemporer.
Tokoh yang masih hidup dari angkatan
tersebut adalah KH Abdul Hasib (pendiri Ma’had al-Hikmah Mampang,
Jakarta Selatan) dan Abdi Sumaithi alias Abu Ridha (kader senior Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia). Dari susunan pendiri PK (20 Juli 1998,
berjumlah 52 orang) dan PKS (20 April 2002, berjumlah 50 orang), kita
melihat perbauran kelompok tradisional dan modernis Muslim. Bisa
dipahami, kesulitan PKS untuk mengidentifikasi diri dalam konteks
budaya-politik Indonesia, karena mereka adalah generasi pelintas batas.
Karena itu, terlalu jauh simplifikasi yang menyebut PKS dibentuk oleh
alumni Timur Tengah atau intelektual produk Barat. Apalagi, bila
diselingi insinuasi bahwa PKS merupakan rekayasa intelijen pasca Orde
Baru untuk mengisi kekosongan politik Islam di kalangan generasi muda.
Semua asumsi miring itu terbantahkan dalam praktek, motifnya hanya
stigmatisasi generasi reformasi.
Akar sejarah PKS sudah sangat jelas
memiliki basis budaya lokal dan nasional yang kuat, meskipun terbuka
dengan inspirasi gerakan Islam global (Yon Machmudi, 2005). Reformasi
1998 membuka momen transformasi dari rezim otoriterian menuju demokrasi
dengan sekat-sekat primordial yang mulai mencair, demikian pula
batas-batas politik antar bangsa. Semua unsur aliran dan organisasi arus
utama Islam bisa ditemukan dalam tubuh PKS. Disamping tokoh-tokoh yang
sudah disebutkan di atas, ada Acep Abdul Syukur dari Mathlaul Anwar
(Banten), Makmur Hasanuddin (Persatuan Islam), atau Muslih Abdul Karim
(alumni Ponpes Langitan/Nahdlatul Ulama).
Tokoh sentral Hilmi Aminuddin dan Salim
Segaf al-Jufri memang alumni Timur Tengah, namun memiliki akar budaya
Sunda dan Sulawesi, bahkan Salim Segaf dikenal sebagai cucu pendiri
Al-Khairat yang memiliki jaringan luas di Indonesia Timur. Dari kalangan
lebih muda ada Hidayat Nur Wahid (Muhammadiyah), Sunmanjaya Rukmandis
(alumni HMI), Mutammimul Ula (pengurus PB PII di masa Orde Baru
berkuasa), Ahmad Heriyawan (Persatuan Ummat Islam, sekarang menjabat
Ketua Dewan Syura PUI) dan Nabiel Musawa (setelah mundur dari kancah
politik, sepenuhnya mengabdikan diri dalam Majelis Rasulullah).
Ustadz Lani Bersama Ustadz Arifin Ilham
Upaya menemukan akar sejarah dengan
menelusuri saksi-saksi hidup dalam perjalanan dakwah merupakan langkah
yang lebih produktif, disamping menginisiasi respon simbolik. Kader PKS
generasi baru telah menggelar lomba baca kitab kuning (beraksara Arab
gundul), memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw dengan membaca kitab
Simthud Durar, mengadakan sarasehan wayang dalam perspektif dakwah, dan
berbagai kegiatan sosial-budaya di daerah masing-masing. Langkah
simpatik pendekatan publik itu akan lebih lengkap dengan pemahaman
sejarah yang komprehensif.
Selamat jalan Bang Lani, kepergian
Abangda mengingatkan ada banyak celah yang harus diisi dalam rangkaian
mozaik dakwah. Semoga generasi muda pergerakan Islam menyadari tugas
sejarah mereka untuk menyempurnakan mozaik itu, tentu saja berdasarkan
realitas dan tantangan aktual yang dihadapi.
Ditulis oleh Sapto Waluyo – Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform
Post a Comment