Salim A Fillah : Hidayah
Mendengar
Pak Iwan Setiawan, seorang wirausahawan dan Mas Angga, seorang
mahasiswa; melantun syahadat dengan bergetar di Masjid Jogokariyan
kemarin selasa (31/5/2016), rasanya ada yang bergemuruh dalam dada.
Kita selalu tertegun jika menyimak kisah
bagaimana perjalanan seseorang hingga dikaruniai hidayah. Sesederhana
apapun itu. Berpindah dari gelap pada cahaya tak selalu mudah, bahkan
ujian pertama telah datang saat silaunya menusuk mata.
Tapi betapa beruntungnya, betapa
bahagianya. Alangkah mahalnya hidayah itu hingga seorang renta yang
mengerahkan segenap jiwa raga dan segala miliknya untuk membela dan
menjaga Kekasih Allah pun tidak mendapatkannya. Betapa mahalnya hidayah
itu hingga ada begitu banyak insan yang disifati Al Quran, “‘Amilatun Nashibah.. Tashlaa Naaran Haamiyah.. Bekerja keras lagi kepayahan. Memasuki neraka yang menyala-nyala.“
Dan ‘Umar menggumamkan ayat ini dalam
perjalanannya ke Yerusalem, sembari menangis menatap seorang rahib yang
khusyuk meratap di depan patung lelaki yang disalibkan.
Mari catat bahwa prinsip pertama memahami semua takdir adalah bahwa Allah Maha Adil, tidak pernah zhalim.
Maka pasti ada hikmah indah ketika
Rasulullah menyampaikan bahwa ada seorang yang kita lihat beramal dengan
amalan ahli neraka, lalu jarak antara dia dengan neraka hanya
sejengkal; dan telah tertulis bahwa dia termasuk ahli surga sehingga di
ujung hidup dia beramal dengan amalan ahli surga, maka diapun masuk
surga.
Mari kita ulang: “Allah Maha Adil, tidak pernah zhalim.“
Maka pasti ada hikmah indah ketika
Rasulullah menyampaikan bahwa ada seorang yang kita lihat beramal dengan
amalan ahli surga, lalu jarak antara dia dengan surga hanya sejengkal;
dan telah tertulis bahwa dia termasuk ahli neraka sehingga di ujung
hidup dia beramal dengan amalan ahli neraka, maka diapun masuk neraka.
Mari kita ulang: “Allah Maha Adil, tidak pernah zhalim.”
Inilah penegasan agar kita yang mengaku
beriman jangan pernah merasa aman-aman. Ketergelinciran itu sungguh
banyak sebabnya. Maka merasa berhajat pada hidayah Allah adalah hal yang
terus kita hidupkan sebagai pilar kehambaan. Itulah doa terpenting kita
sesudah memuji Allah, sesudah mengharap rahmatNya, sesudah takut pada
pengadilanNya, dan sesudah berikrar bahwa hanya padaNya kita menyembah
dan mohon pertolongan.
“Ihdinash shiraathal mustaqim. Tunjukilah kami jalan yang lurus. “
Siapakah yang merasa aman dari
ketergelinciran ini; sedang dosis yang ditetapkan Allah atas pinta
hidayah itu sekurangnya adalah 17 kali sehari?
Siapakah yang merasa aman dari
ketergelinciran ini; sedang untuk menjawab panggilan adzanpun kita harus
menyatakan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Dzat Yang
Maha Tinggi?
Siapakah yang merasa aman dari
ketergelinciran ini; sedang untuk membaca Al Quran saja kita diminta
memulai dengan memohon perlindungan dari goda syaithan dan bergegas
menyusuli shalat dan dakwah -bukan dosa- dengan istighfar?
Siapakah yang merasa aman dari
ketergelinciran ini dengan berringan-ringan menyebut sesama sebagai
fasik atau munafik; sedang Hasan Al Bashri ketika ditanya tentang
kemunafikan maka dia menangis dan mengatakan, “Jika orang seperti
‘Umar sangat takut bahwa dirinya termasuk orang munafik; tidakkah kita
seharusnya amat curiga bahwa kita jauh lebih munafik? “
Siapakah yang merasa aman dari
ketergelinciran ini dengan bermudah-mudah mengolok sesama karena
dosanya; sedang Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengatakan, “Para
pendahulu kami menyatakan, jika seorang mengejek sesama mukmin atas dosa
yang dilakukannya, niscaya takkan mati dia itu sebelum melakukan
maksiat yang sama. “
Ya Allah, jangan palingkan hati kami sesudah Engkau beri ia hidayah.. Yaa Muqaalibal Quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diinik.
Salim A Fillah
Sumber : Islamedia

Post a Comment