LPSK Diminta Tidak Persulit Pemenuhan Hak Korban Terorisme
Jakarta (31/5) –
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyayangkan langkah Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang kerap kali mempersulit
pemenuhan hak korban terorisme, khususnya bantuan medis dan psikososial.
Hal itu disampaikan Nasir pasca bertemu
dengan korban ledakan Bom JW Marriot dan Kuningan, Senin (30/5) di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
"Sebagai lembaga terdepan dalam
melindungi saksi dan korban tindak pidana berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seharusnya
LPSK tidak mempersulit korban dengan mengkambinghitamkan alasan
birokrasi," jelas Nasir.
Nasir menegaskan dirinya selama ini
aktif mengkaji setiap dokumen perjanjian perlindungan dan pengajuan
permohonan korban yang belum ditindaklanjuti oleh LPSK.
“Para korban mengeluhkan mekanisme
pengajuan permohonan bantuan medis, psikososial, dan kompensasi pada
LPSK yang justru membuat korban menderita untuk kedua kalinya," ungkap
Nasir.
Beberapa keluhan korban terorisme
terhadap LPSK tersebut, jelas Nasir, di antaranya, pertama, LPSK
memerlukan surat keterangan terlapor dari pihak kepolisian atau
berwenang sebagai korban terorisme. Jika tidak ada surat keterangan
tersebut, maka korban yang namanya tidak tercantum dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) tidak dapat memperoleh bantuan LPSK.
Diketahui, Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan
bahwa bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan
Keputusan LPSK.
“Sehingga, sebenarnya, tidak ada klausul
yang menyebutkan bahwa korban tindak pidana terorisme baru dapat
diberikan bantuan berdasarkan keputusan LPSK, setelah mendapatkan
keterangan dari kepolisian atau pihak berwenang," jelas Legislator PKS
dari Daerah Pemilihan Aceh ini.
Kedua, dalam memberikan bantuan medis dan psikososial, Nasir menilai LPSK terkesan lambat dalam memberikan pelayanan.
"Langkah LPSK terlalu bertele-tele,
mulai dari syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi sendiri oleh
korban, sampai pada proses verifikasi dan assesment yang justru memakan waktu lama sehingga korban tidak tertangani secara cepat dan efisien,"ungkap Nasir.
Di sisi lain, tegas Nasir, DPR telah
memperjuangkan penguatan kelembagaan LPSK melalui pengesahan UU nomor 31
Tahun 2014. “Namun LPSK justru telah mempersulit dirinya dalam
mengimplementasikan UU dan para saksi dan korban yang menjadi
korbannya,” jelas Nasir.
Oleh karena itu, Nasir meminta langkah
evaluasi menyeluruh harus dilakukan terhadap kinerja LPSK yang dinilai
kian menurun setiap tahun.
“Perlu ada langkah evaluasi menyeluruh
terhadap kelembagaan dan kinerja LPSK selama ini, sejak diberikan
kewenangan lebih, kinerja LPSK terkesan kian buruk,” papar Nasir.
Nasir tidak ingin undang-undang yang
telah disusun oleh DPR secara baik itu tidak diimplementasikan dengan
baik, terlebih pada pemenuhan hak korban terorisme.
"Sebaik apapun UU yang dibuat, jika
implementasinya buruk maka sampai kapanpun hak korban teroris tak akan
terpenuhi,” tutup Nasir.
Post a Comment