Kartini dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Jepara
Inspirasi Memajukan Potensi Lokal
RA Kartini yang selama ini banyak
dikenal sebagai tokoh yang peduli pendidikan, ternyata juga seorang
perempuan yang berusaha meningkatkan kesejahteraan keluarga masyarakat
Jepara kala itu. Saat usianya enam belas tahun, bersama adiknya Rukmini
dan Kardinah, Kartini mengirimkan beberapa karya seninya dalam Pameran Nasional Karya Wanita (Nationale Tentoonstelling voor Vrownarbeid) yang
diselenggarakan di Den Haag tahun 1898. Dalam pameran itu, Kartini
mengirim karyanya berupa dua buah lukisan pemandangan alam berbingkai
kayu ukiran, hiasan dinding bunga tulip, hiasan dinding bergambar burung
dari kain satin dalam bingkai bambu, lukisan kaca, sembilan buah kerang
besar yang dilukis aneka pemandangan, enam buah bambu berukir dan alat
batik serta tulisan proses pembatikan. Karya seni Kartini dan
adik-adiknya ini mendapat perhatian khusus dari Sri Ratu Wilhelmina dan
Ibu Suri Ratu Emma. Bahkan kepada Ketua Panitia, Ny. Lucardie, keduanya
minta dibacakan surat pengantar dari Kartini. Kejadian ini ditulis dalam
surat kabar De Rotterdamse Courant tanggal 30 Agustus 1898 (Hadi Priyanto, 2014:32-33).
Keberhasilan dalam pameran
tersebut mendorong sekaligus menginspirasi Kartini dalam upaya membantu
perajin yang ada di Jepara untuk meningkatkan penghasilannya. Pada masa
itu, seni ukir memang mulai berkembang namun hanya sebatas seni
kerajinan tangan, belum dikerjakan dengan tujuan komersial sehingga
belum begitu berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Diantara banyak desa yang banyak
perajin ukirnya, Kartini memilih perajin yang berada di daerah Belakang
Gunung, sebuah kampung artis yang terletak di belakang Benteng Portugis,
di atas bukit. Penduduk Belakang Gunungkebanyakan adalah para pengukir,
pandai besi dan pemahat kulit. Kampung ini secara tradisional
merupakan kampung artis namun mereka sangat miskin. Bagi Kartini,
keahlian ini tidak boleh dibiarkan merana (Pramoedya, 2010:189).
Menurutnya, daerah Belakang Gunung memiliki banyak perajin yang
karya-karyanya tergolong indah namun mereka tetap miskin dan tinggal di
rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan reyot.
Penghasilan perajin yang rendah ini disebabkan harga jual yang rendah
dan kadang harga ditentukan oleh pembeli yang kebetulan datang ke
kawasan tersebut.
Kartini memulai upaya pemberdayaan
ekonomi bagi para perajin ukir tersebut. Dengan dukungan ayah dan
saudaranya, ia menampung duabelas perajin (akhirnya bertambah menjadi
lima puluh orang karena pesanan bertambah banyak) yang diberi tempat di
belakang rumah kadipaten dan dibimbing oleh Singowiryo. Para perajin itu
diminta membuat barang berukuran kecil seperti peti rokok, tempat
jahitan, meja kecil dan lainnya. Setelah jadi, Kartini menjual
barang-barang ini ke Batavia dan Semarang dengan harga cukup tinggi
dibanding harga jual di Jepara. Setelah dipotong biaya pengiriman dan
bahan baku, uang hasil penjualan ini diberikan kepada para perajin.
Usaha pemberdayaan para perajin
ukir ini terus berkembang. Salah satu bentuk promosi yang Kartini
lakukan selain menjual, adalah dengan mengirim barang-barang itu sebagai
cinderamata kepada teman-temannya yang orang Belanda, baik yang ada di
Semarang, Batavia maupun yang ada di Belanda. Karena mutunya cukup
bagus, pesananpun berdatangan. Bahkan saat itu barang-barang
yang dibuat tidak hanya yang berukuran kecil tapi mulai berkembang pada
perkakas ukir seperti kursi pengantin, meja, tempat tidur dan kursi
tamu. Disini Kartini mulai terlibat dalam mendesain ukiran. Motif yang
disukainya adalah motif Lunglungan Bunga dan menjadi motif yang digemari
masyarakat. Motif ciptaan Kartini ini kemudian menjadi salah satu motif
khas asli Jepara.
Usaha Kartini membuahkan hasil.
Ukir kayu Jepara mulai dikenal luas tidak hanya di pasar lokal namun
juga di pasar internasional. Ia seringkali menulis di surat kabar yang
ada di Hindia Belanda dan surat kabar yang ada di Belanda tentang
keindahan seni ukir Jepara, yang dengan tulisan itu banyak orang kagum
akan keindahan seni ukir Jepara. Berkat tulisan-tulisan tersebut, sebuah
lembaga perdagangan yang dipimpin oleh Ny. N. van Zuylen Tromp (didirikan tahun 1899 setelah acara Pameran Karya Wanita di Den Haag), bernama Oost en West,mengajak
Kartini untuk bermitra dagang (Hadi Priyanto, 2014:37). Demikianlah,
Kartini telah merintis jalan bagi terbukanya pasar baru bagi seni ukir
Jepara.
Ukiran Jepara Go International
Kerja keras Kartini memberdayakan
ekonomi masyarakat Jepara melalui kerajinan ukiran kayu membuahkan
hasil. Ia mulai membangun hubungan dagang dengan Oost en West yang baru membuka cabang di Batavia. Oost en West bertujuan untuk mengembangkan dan memasarkan hasil kerajinan masyarakat bumiputera. Bahkan pada tahun 1903, Oost en West mendirikan sebuah perusahaan di Den Haag yang diberi nama Boeatan yang secara khusus menangani bisnis kerajinan.
Hubungan perdagangan ini mudah
dibangun karena nama RA Kartini sudah dikenal, terutama setelah Kartini
mengikutkan karyanya pada Pameran Nasional Karya Wanita (Nationale Tentoonstelling voor Vrownarbeid)
tahun 1898 di Den Haag. Kartini dengan tekun membersamai dan mengawasi
para perajin ukir dari Belakang Gunung yang mulai dipesan Oost en West.
Kartini menuliskan kegembiraannya pada Eddy Abendanon, putra J.H. Abendanon, pada tanggal 15 Agustus 1902 ketika Oost en West banyak memesan barang ukiran untuk keperluan pesta sinterklas.
“Hore untuk kesenian dan
kerajinan rakyat kami! Hari depanmu pasti akan gemilang! Aku tak dapat
mengatakan betapa girang dan bahagia aku. Kami mengagumi rakyat kami.
Kami bangga atas mereka. Rakyat kami yang kurang dikenal, karena itu
juga kurang dihargai……. Hari depan Jepara sekarang terjamin….. Tuan
Zimmermann memuji setinggi langit hasil karya arsitek dari rakyat
berkulit coklat yang sering dihina. Seniman-seniman kami mendapatkan
pesanan dari Oost en West untuk sinterklas. Sekarang seniman-seniman
kami dapat melaksanakan ide-ide mereka yang sangat bagus-bagus. Dapat
menjelmakan gagasan-gagasan yang puitis dalam bentuk-bentuk yang indah,
garis-garis yang ramping, berombak-ombak, berkelok-kelok dalam
pancawarna yang cemerlang.”
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Usaha Mikro Kerajinan Rakyat
Kartini mengatakan dalam suratnya kepada Ny. R.M. Abendanon tertanggal 9 Maret 1903:
“Kami sudah menerima kabar.
Beberapa hari lagi kulit penyu itu sudah ada disini, dan akan dibawa
pandai emas ke Solo. Senang sekali bahwa sekarang sudah ada tiga cabang
kerajinan seni yang sedang berkembang di tempat kelahiran saya. Dan kami
sedang berikhtiar mencari kerajinan lain yang akan kami galakkan”(Rahayu Amatullah, 2016).
Demikianlah Kartini tak pernah
berhenti bekerja untuk rakyat. Pikiran beliau tak lelah menganalisa,
mencari ide-ide untuk membuat rakyat Jepara khususnya menjadi lebih
sejahtera. Dan Kartini menjalaninya dengan segenap ketelatenan dalam
pembinaan. Beliau melanjutkan dalam suratnya: “Mereka sekarang tahu, mengerti bahwa maksud kami ialah memakmurkan mereka sendiri. Mereka
maklum akan keuntungannya sendiri, dan mereka menghargai usaha kami
dengan membantu secara gembira dan rajin. Semuanya yang kami kerjakan
bagi mereka akan sia-sia saja bila mereka tidak mengerti, bahwa kami
bermaksud baik bagi mereka dan kesejahteraan merekalah yang kami tuju……
Alangkah senangnya melihat, bagaimana cabang kerajinan tadi benar-benar
mulai hidup. Perempuan tukang dringin [kerajinan sabuk sutera bersulam
benang emas, pen.] mulai bekerja besar-besaran. Bahkan di kampung
sekitar kampung Melayu orang Bumiputera juga mengerjakan hal itu…”
Dari penggal paragraf surat diatas
kita memahami bahwa Kartini melakukan pemberdayaan masyarakat. Beliau
bekerja tekun melakukan pembinaan dan pendampingan kelompok-kelompok
perajin di beberapa kampung dan bukan hanya kerajinan seni ukir kayu.
Ketelatenan pendampingan itu beliau maksudkan agar pada akhirnya para
perajin dapat mandiri.
Kartini bahkan memikirkan pengkaderan perajin sebagaimana yang disampaikan kepada Ny. Abendanon:
“Tukang emas sudah bertambah
banyak pembantu dan murid-muridnya. Dan ada pula anak-anak yang minta
dididk menjadi tukang ukir kayu. Ada satu hal yang lebih-lebih
menggirangkan hati saya benar. Diantara murid-murid itu ada satu anak
kota, juga bukan anak dari Belakang Gunung, desa tukang ukir kayu.
Murid-murid lain kami yang mencarinya, tetapi yang seorang datang dari
kota itu datang sendiri minta turut belajar. Itulah yang kami kehendaki.
Itulah tanda yang mengggembirakan, menyenangkan hati! Syukur,
beribu-ribu syukur!” (Rahayu Amatullah, 2016).
Kartini memang seorang pemimpin
yang natural sekaligus visioner, yang berorientasi pada kepentingan
rakyat banyak, bukan kepentingan pribadinya.
Dra Wirianingsih, Msi
Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga DPP PKS
--------------------
Daftar Pustaka:
- Hadi Priyanto, dkk, Mozaik Seni Ukir Jepara (Pemkab Jepara: Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara)
- Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja (Lentera Dipantara 2010)
- Rahayu Amatullah, Kartini: Jejak Sebuah Jatidiri (Granada Publishing House 2016)

Post a Comment