Dikira Umur Masih 20 Tahun Lagi, Ternyata Tersisa 24 Jam Saja
Umur, jodoh, rezeki, hidup, dan mati telah ditentukan Allah semenjak
manusia berada dalam kandungan ibunya. Tidak ada yang tahu dimana dan
kapan dia akan meninggal, seperti apa dia akan meninggal dunia.
Sungguh, semua itu hanyalah rahasia Allah. Orang-orang beriman wajib untuk yakin kepada takdir Allah dan tidak berlaku sombong selama hidup di dunia.
Ada sebuah kisah menarik tentang kematian seseorang yang begitu tiba-tiba yang diceritakan seorang dokter.
Dialah Dr. dr. Khalid bin Abdul Aziz Al-Jabir yang bercerita tentang kematian yang menjemput sejumlah orang yang dia kenal, dalam bukunya, Musyahadat Thabîb Qashash Waqi’iyah.
Berikut adalah kisahnya.
Sekitar jam lima pagi, salah seorang pegawai rumah sakit menghubungiku,
“Salah seorang pasien anda yang akan menjalani operasi pada hari ini telah melarikan diri.”
Saya katakan kepadanya, “Insya Allah ia akan baik-baik saja, saya selalu mendoakannya.”
Dua minggu kemudian, ada seorang pemuda berumur kurang dari 20 tahun mencariku di luar ruang operasi.
Saya segera menemuinya, ternyata ia adalah pemuda yang melarikan diri dari operasi saat itu.
Saya bertanya, “Kamukah yang melarikan diri dari operasi dua minggu yang lalu?”
Ia menjawab, “Ya.”
Saya bertanya, “Kenapa anda melarikan diri?”
Ia menjawab, “Saya takut mati.”
Saya bertanya lagi, “Kenapa anda takut mati?”
Ia menyahut, “Karena saya belum siap.”
Saya lalu bertanya, “Kenapa anda belum siap?”
Ia menjawab, “Dorongan hawa nafsu dan setan.”
Saya pun melanjutkan pertanyaan berikutnya, “Kapan anda siap? Atau kapan anda bisa mengendalikan hawa nafsu dan setan tersebut?”
Ia menjawab, “Saya tidak tahu, akan tetapi saya selalu berdoa kepada Allah agar memberiku petunjuk.”
Saya katakan, “Apakah anda yakin akan keluar dari kegelapan ini? Atau anda yakin besok anda masih menghirup udara segar untuk hidup?”
Dengan tersipu ia menjawab, “Tentu saja tidak.”
Saya berkata kepadanya, “Dengarkanlah! Saya akan menceritakan satu kejadian kepadamu, semoga kamu dapat mengambil hikmah darinya.
Pada satu hari Selasa, hari sekitar waktu Ashar, saya mendatangi salah seorang teman untuk memberikan nasihat kepadanya agar selalu menjaga shalat.
Setelah terjadi perdebatan yang panjang, akhirnya ia berkata kepadaku,
“Wahai Abu Ubaidillah, jika kedatanganmu hanya untuk memperdebatkan masalah ini, saya minta kamu membicarakan hal yang lain saja.”
Saya katakan kepadanya, “Wahai Abu Fulan, takutlah kepada Allah! Kamu tidak tahu kapan kamu mati!
Tidak tahu di mana kamu akan mati! Bisa jadi kamu mati besok, sekarang, atau mungkin beberapa jam lagi.”
Ia menjawab dengan congkak,
“Aku masih muda, aku baru berumur empat puluh tahun. Ayahku meninggal pada usia sembilan puluh tahun, sedangkan kakekku meninggal pada usia seratus tahun.
Saya masih segar bugar dan sehat, jika aku sudah berusia enam puluh tahun aku akan mendirikan shalat.”
Saya katakan, “Takutlah kepada Allah! Kematian bisa mendatangimu kapan saja.”
Ia lalu menyahut dengan congkak seperti jawabannya tadi, akhirnya saya meninggalkannya dengan perasaan sedih.
Pada Rabu malam Kamis, tepat jam sepuluh malam, salah seorang teman memberi kabar kepadaku,
“Abu Fulan, orang yang berdebat denganku kemarin, telah meninggal pada hari ini waktu Ashar, dalam satu kecelakaan lalu lintas di satu jalan di wilayah Dammam, dan kami akan menyalatinya besok hari kamis waktu Zhuhur.”
Berita tersebut sampai ke telingaku bagaikan petir yang menyambar.
Saya sangat menyayangkan keadaannya, terasa masih hangat di dalam benakku apa yang ia bicarakan, apa yang ia perdebatkan karena kecongkakannya.
Saat itu ia hanya mengharapkan hidup dua puluh tahun lagi untuk mendirikan shalat, akan tetapi ia hanya diberi kesempatan dua puluh empat jam saja.
Sekarang apa yang akan anda katakan?
Saudaraku sekalian!
Sungguh kisah-kisah kehidupan, kejadian-kejadian nyata yang begitu dekat ini menuntut kita untuk mengintrospeksi diri dan merenungkan keadaan kita
Tahukah kita bagaimana sikap kita yang selalu berada dalam bayang-bayang kematian?
Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan, banyak sekali orang yang memasuki wilayah pemakaman namun sikap mereka sebagaimana mereka memasuki pasar.
Saya pernah melihat dua orang bercanda ria saat mereka sedang mengiringi jenazah menuju pemakaman, bahkan saya juga pernah melihat orang lain yang menyalakan rokoknya saat ia belum melangkah keluar dari kompleks pemakaman.
Sungguh keadaan ini sangat menyedihkan. Kita telah merasa aman dari ujian Allah, lalu kita melupakan kematian.
Kita membuang bayang-bayang kematian jauh-jauh, seakan-akan kita akan hidup selamanya.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata,
“Jika kita merenungkan sisi-sisi kehidupan para shahabat Rasulullah, kita akan dapati mereka sangat giat beramal dengan diiringi rasa takut kepada Allah.
Sedangkan amal ibadah kita sangat kurang, bahkan kita telah bersikap meremehkan dan merasa aman dari ujian Allah. Ya Allah, ampunilah kami.”
Jika gambaran Ibnul Qayyim tentang dirinya dan masyarakat pada zaman beliau dibandingkan dengan keadaan para shahabat seperti itu. Lalu bagaimana keberadaan kita jika dibandingkan mereka?
Saudaraku…
Kita harus menjadikan kematian sebagai pengingat yang selalu melekat dalam pikiran dan benak kita, sehingga ketika melihat jubah atau baju berwarna putih kita akan segera mengingat kain kafan, liang lahat, pertanyaan Mungkar dan Nakir dan seterusnya.
Apakah kita sudah siap menghadapinya?
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]
Sungguh, semua itu hanyalah rahasia Allah. Orang-orang beriman wajib untuk yakin kepada takdir Allah dan tidak berlaku sombong selama hidup di dunia.
Ada sebuah kisah menarik tentang kematian seseorang yang begitu tiba-tiba yang diceritakan seorang dokter.
Dialah Dr. dr. Khalid bin Abdul Aziz Al-Jabir yang bercerita tentang kematian yang menjemput sejumlah orang yang dia kenal, dalam bukunya, Musyahadat Thabîb Qashash Waqi’iyah.
Berikut adalah kisahnya.
Sekitar jam lima pagi, salah seorang pegawai rumah sakit menghubungiku,
“Salah seorang pasien anda yang akan menjalani operasi pada hari ini telah melarikan diri.”
Saya katakan kepadanya, “Insya Allah ia akan baik-baik saja, saya selalu mendoakannya.”
Dua minggu kemudian, ada seorang pemuda berumur kurang dari 20 tahun mencariku di luar ruang operasi.
Saya segera menemuinya, ternyata ia adalah pemuda yang melarikan diri dari operasi saat itu.
Saya bertanya, “Kamukah yang melarikan diri dari operasi dua minggu yang lalu?”
Ia menjawab, “Ya.”
Saya bertanya, “Kenapa anda melarikan diri?”
Ia menjawab, “Saya takut mati.”
Saya bertanya lagi, “Kenapa anda takut mati?”
Ia menyahut, “Karena saya belum siap.”
Saya lalu bertanya, “Kenapa anda belum siap?”
Ia menjawab, “Dorongan hawa nafsu dan setan.”
Saya pun melanjutkan pertanyaan berikutnya, “Kapan anda siap? Atau kapan anda bisa mengendalikan hawa nafsu dan setan tersebut?”
Ia menjawab, “Saya tidak tahu, akan tetapi saya selalu berdoa kepada Allah agar memberiku petunjuk.”
Saya katakan, “Apakah anda yakin akan keluar dari kegelapan ini? Atau anda yakin besok anda masih menghirup udara segar untuk hidup?”
Dengan tersipu ia menjawab, “Tentu saja tidak.”
Saya berkata kepadanya, “Dengarkanlah! Saya akan menceritakan satu kejadian kepadamu, semoga kamu dapat mengambil hikmah darinya.
Pada satu hari Selasa, hari sekitar waktu Ashar, saya mendatangi salah seorang teman untuk memberikan nasihat kepadanya agar selalu menjaga shalat.
Setelah terjadi perdebatan yang panjang, akhirnya ia berkata kepadaku,
“Wahai Abu Ubaidillah, jika kedatanganmu hanya untuk memperdebatkan masalah ini, saya minta kamu membicarakan hal yang lain saja.”
Saya katakan kepadanya, “Wahai Abu Fulan, takutlah kepada Allah! Kamu tidak tahu kapan kamu mati!
Tidak tahu di mana kamu akan mati! Bisa jadi kamu mati besok, sekarang, atau mungkin beberapa jam lagi.”
Ia menjawab dengan congkak,
“Aku masih muda, aku baru berumur empat puluh tahun. Ayahku meninggal pada usia sembilan puluh tahun, sedangkan kakekku meninggal pada usia seratus tahun.
Saya masih segar bugar dan sehat, jika aku sudah berusia enam puluh tahun aku akan mendirikan shalat.”
Saya katakan, “Takutlah kepada Allah! Kematian bisa mendatangimu kapan saja.”
Ia lalu menyahut dengan congkak seperti jawabannya tadi, akhirnya saya meninggalkannya dengan perasaan sedih.
Pada Rabu malam Kamis, tepat jam sepuluh malam, salah seorang teman memberi kabar kepadaku,
“Abu Fulan, orang yang berdebat denganku kemarin, telah meninggal pada hari ini waktu Ashar, dalam satu kecelakaan lalu lintas di satu jalan di wilayah Dammam, dan kami akan menyalatinya besok hari kamis waktu Zhuhur.”
Berita tersebut sampai ke telingaku bagaikan petir yang menyambar.
Saya sangat menyayangkan keadaannya, terasa masih hangat di dalam benakku apa yang ia bicarakan, apa yang ia perdebatkan karena kecongkakannya.
Saat itu ia hanya mengharapkan hidup dua puluh tahun lagi untuk mendirikan shalat, akan tetapi ia hanya diberi kesempatan dua puluh empat jam saja.
Sekarang apa yang akan anda katakan?
Saudaraku sekalian!
Sungguh kisah-kisah kehidupan, kejadian-kejadian nyata yang begitu dekat ini menuntut kita untuk mengintrospeksi diri dan merenungkan keadaan kita
Tahukah kita bagaimana sikap kita yang selalu berada dalam bayang-bayang kematian?
Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan, banyak sekali orang yang memasuki wilayah pemakaman namun sikap mereka sebagaimana mereka memasuki pasar.
Saya pernah melihat dua orang bercanda ria saat mereka sedang mengiringi jenazah menuju pemakaman, bahkan saya juga pernah melihat orang lain yang menyalakan rokoknya saat ia belum melangkah keluar dari kompleks pemakaman.
Sungguh keadaan ini sangat menyedihkan. Kita telah merasa aman dari ujian Allah, lalu kita melupakan kematian.
Kita membuang bayang-bayang kematian jauh-jauh, seakan-akan kita akan hidup selamanya.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata,
“Jika kita merenungkan sisi-sisi kehidupan para shahabat Rasulullah, kita akan dapati mereka sangat giat beramal dengan diiringi rasa takut kepada Allah.
Sedangkan amal ibadah kita sangat kurang, bahkan kita telah bersikap meremehkan dan merasa aman dari ujian Allah. Ya Allah, ampunilah kami.”
Jika gambaran Ibnul Qayyim tentang dirinya dan masyarakat pada zaman beliau dibandingkan dengan keadaan para shahabat seperti itu. Lalu bagaimana keberadaan kita jika dibandingkan mereka?
Saudaraku…
Kita harus menjadikan kematian sebagai pengingat yang selalu melekat dalam pikiran dan benak kita, sehingga ketika melihat jubah atau baju berwarna putih kita akan segera mengingat kain kafan, liang lahat, pertanyaan Mungkar dan Nakir dan seterusnya.
Apakah kita sudah siap menghadapinya?
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]
Post a Comment