Beginilah Dakwah: Antara Idealisme dan Realitas
dakwatuna.com – Sebutlah
namanya Fulan, mahasiswa tingkat 2 di salah satu universitas swasta di
daerahnya. Beberapa bulan terakhir, Fulan mulai berafiliasi dengan
lembaga dakwah di kampusnya. Banyak yang berubah dari kesehariannya.
Tidak hanya teman-teman, orangtua terutama Ibunya merasakan ada yang
berbeda darinya. Fulan yang kini, bukan Fulan yang dulu lagi. Fulan
sekarang lebih rajin ke masjid berjamaah, lebih senang memandangi
Al-Qur’an berlama-lama, shalat malam dan puasa
senin-kamis kini jadi kebiasaan rutinnya. Sekarang waktunya tersita
habis mengejar kajian-kajian dan memperdalam wawasan keislaman. Tidak
sampai di situ, Fulan kini sungguh berubah. Pergaulannya sangat di
batasi. Kini Fulan hanya mau bergaul dengan mereka-mereka yang seharakah
dengannya. Fulan telah berubah jadi manusia-manusia eksklusif yang
cenderung menutup diri dari lingkungannya.
Cerita
di atas hanyalah sebagian kecil dari cerminan realita yang terjadi
dengan para aktivis dakwah kita. Di usia dakwah yang masih begitu hijau
saja kesan eksklusivisme begitu kental terasa. Seakan-akan kita adalah
golongan malaikat yang kebetulan sedang berehat sejenak di pelataran
bumi. Fenomena eksklusif tersebut bukan lagi perkara aneh, tidak hanya
di dunia kampus ketidakdewasaan itu berlanjut di masyarakat, dari
harakah-harakah, golongan, jam’ah sampai organisasi-organisasi Islam
hampir tidak bisa melepaskan diri dari penyakit ini. Fenomena ini
berakar dari persepsi-persepsi kita tentang masyarakat di luar kita yang
selama ini kita anggap telah jauh tersesat dalam kejahiliyahan modern.
Hal tersebut kemudian menyebabkan kita membangun tabir pemisah antara
kita dan lingkungan. Menjadikan kita mendirikan komunitas suci kita
sendiri, yang di huni oleh gerombolan manusia-manusia bak Malaikat.
Ketika
seseorang telah bersinggungan dengan aktivis dakwah, entah kenapa kesan
superioritas tiba-tiba melekat pada dirinya. Kita merasa seakan-akan
adalah golongan manusia-manusia yang tidak pantas berbuat salah dan
dosa, tak ingin terinfeksi virus-virus jahiliah modern yang melanda umat
dewasa ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana jadinya dakwah
ini, bagaimana kita sebagai aktivis dakwa bermasyarakat kelak? Ketika
kita sendiri sebagai penggerak dakwah memberikan sekat yang membatasi
kita dengan objek dakwah. Ketika aktivis dakwah terjebak dengan
komunitas sucinya bagaimana kelak kita akan memperkenalkan dakwah kita
kepada masyarakat. Bukankah sejatinya dakwah adalah bagaimana menyeru
kepada Islam. Bukan Islam untuk golongan atau Islam untuk komunitas.
Akhi,
di luar sana kenyataan akan jauh lebih kejam dari apa yang kita bisa
bayangkan. Selalu ada pergulatan antara sisi manusia kita dengan
idealisme yang selama ini kita bangun. Sebagai seorang aktivis dakwah
hendaknya kita mampu menempa diri, mampu menempatkan diri dengan
berbagai macam kondisi. Hari ini, kenyataannya kita masih sangat jauh
dari realitas dakwah, kita masih dalam tataran meraba, melihat dari
jauh, belum benar-benar merasa apalagi bersentuhan dengan realitas
dakwah. Fese dakwah sesungguhnya bukan saat ini, di mana sisi-sisi
manusiawi kita masih mampu ditekan oleh kondisi spiritual yang kita
bangun, masih nyaman dalam balutan ukhuwah komunitas yang kental. Fase
dakwah sesungguhnya adalah nanti, saat di mana kita telah bersentuhan
langsung dengan realitas, bersinggungan dengan masyarakat yang majemuk.
Dari persinggungan itu kemudian diharapkan dakwah bertumbuh menjadi
matang, dan pada akhirnya dakwah mampu mengambil peran sosial dan peran
spiritualnya sebagai rahmatalilalamin. Wallahu’alam.
“Orang
yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan
mati sebagai orang kerdil. Tapi orang yang hidup bagi orang lain akan
hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar” (Sayyid Quthub).

Post a Comment