Header Ads

ad

Kegigihan Marsudin Melestarikan Bahasa Madura

Bagi Marsudin, Bahasa Madura tidak hanya alat berkomunikasi. Lebih dari itu, Bahasa Madura dengan berbagai tingkatannya juga menunjukkan karakter penggunanya. 

Lahir dan tumbuh besar dari keluarga buruh tani di desa Walidono. Prajekan pada 25 Juni 1942, komunikasi sehari-hari Marsudin sejak kecil memanglah menggunakan Bahasa Madura. Namun, perkenalannya dengan penggunaan bahasa Madura yang baik dan benar justru ketika dia menempuh pendidikan di SGB Negeri 02 Bondowoso pada 1961. 

Saat menempuh pendidikan guru selama empat tahun itulah, Marsudin kemudian lebih memahami penggunaan bahasa madura yang baik dan benar. Bukan hanya tata bahasa pada penulisan dan pembacaan, tapi juga tata cara dan penempatan penuturan hingga pelajaran tembang macapat, atau seni melagukan Bahasa Madura. 

Meski mayoritas penduduk Bondowoso berkomunikasi dengan Bahasa Madura, namun ternyata banyak penggunaan bahasa yang sudah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Madura. Marsudin mendeteksi adanya pergeseran penggunaan Bahasa Madura yang baik dan benar itu sudah terjadi sejak 1990-an. 

Sejak saat itu sudah banyak masyarakat yang mencapuradukkan Bahasa Madura dan bahasa lain. Semisal de'emma mamaen (di mana ibunya). Harusnya kalimat tersebut lebih tepat de'emma embu'en. Mengingat kata 'mama' biasa digunakan dalam bahasa Indonesia. Sayangnya pencampuran bahasa itu kini sudah lazim terjadi di lingkungan masyarakat Madura. 

"Jika itu dibiarkan terus menerus, maka bahasa Indonesianya rusak, bahasa Maduranya juga kocar-kacir," ungkap Marsudin yang pernah menjadi kepala sekolah SD ini. Kondisi itu dianggapnya sebagai akibat dari persoalan yang begitu komplek. Karena perkembangan jaman yang kebablasan, lingkungan keluarga Madura banyak yang enggan menggunakan Bahasa Madura dengan baik dan benar. 

Sementara itu, pendidikan bahasa Madura secara formal, seperti di sekolah-sekolah, kurang mengaplikasikan penggunaan Bahasa Madura sendiri. Oleh para guru, anak-anak sekolah hanya diminta untuk menghafalkan. Sementara dalam konteks komunikasi justru seringkali terabaikan. 

Berangkat dari situlah, pada 1996, Marsudin bersama dengan sejumlah rekannya membentuk Tim Pangrabat Bhasa Madhura. Tim ini salah satunya bertugas untuk kembali mengajarkan kaidah-kaidah penggunaan Bahasa Madura yang baik dan benar untuk usia dini. Salah satunya membuat latihan ulangan dan soal ujian untuk sekolah dasar (SD) di Bondowoso yang dilakukan hingga 2002. 

Gairah Marsudin dalam pelestarian Bahasa Madura melalui tim tersebut semakin menjadi-jadi. Beberapa karya ilmiah dalam bentuk buku dia ciptakan. Misalnya buku berjudul Pengajaran Bhasa Madura, buku Bacaan Carakan Madura Kembhang Tanjhung, hingga berbagai lembar kegiatan siswa (LKS) untuk SD. 

Menulis buku tentang Bahasa Madura adalah salah satu upaya pelestarian yangdilakukan oleh Marsudin. Dia tak terlalu risau dengan berapa rupiah yang akan dia dapatkan dari kerja kreatifnya itu. Bahkan ketika untuk satu buku LKS dia hanya mendapatkan honor Rp 400 per eksemplar, itu pun dibagi tiga dengan timnya. Marsudin tak mengeluh. 

Terpenting baginya adalah upaya pelestarian tetap berjala n. "Banyak yang bilang untuk upah sebesar itu memang tidak layak. Tapi tidak masalah. Kalau pun ada pahala dari proses berbagi ilmu itu, saya hadiahkan untuk guru Bahasa Madura saya saat sekolah dulu," ujar kakek dari sembilan cucu yang kini tinggal di RT 12/04 Walidono, Prajekan ini. 

Pada tahun ajaran baru 2014, dia memilih keluar dari penerbit karena dia merasa tidak ada lagi keterbukaan penerbit terhadap honor yang dia dan timnya terima dalam setiap penerbitan LKS. 

Namun hal itu tak membuat Marsudin berhenti dalam upaya melestarikan Bahasa Madura yang baik dan benar. Setidaknya, itu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Saat mengambil gaji pensiunannya sebagai PNS sebulan sekali, dia selalu menerapkan penggunaan Bahasa Madura halus. 

Di samping itu, dia selalu siap jika dibutuhkan untuk membelikan pelajaran, khususnya kepada guru bagaimana penggunaan Bahasa Madura yang baik dan benar. Apalagi dia merasa saat ini di Bondowoso sendiri masih kekurangan guru Bahasa Madura. 

Marsudin juga dengan sigap dan semangat hadir saat dia diundang untuk mengisi seminar atau penataran terkait Bahasa Madura. Soal honor, lagi-lagi dia tak merisaukan. Bahkan dia selalu menyempatkan waktu bagi siapa pun, termasuk para guru yang banyak datang belajar ke rumahnya. 

Di usianya yang sudah senja, Marsudin selalu bergairah ketika berbicara soal pelestarian Bahasa Madura. Namun upayanya tak selalu muluk-muluk. Yang paling dia tekankan saat ini adalah bagaimana keluarganya sendiri bisa mengaplikasikan penggunaan Bahasa Madura yang baik dan benar. 

Karena selain alat komunikasi, penggunaan Bahasa Madura yang baik dan benar akan menunjukkan karakter dari penggunanya. Marsudin menyontohkan, kata 'kamu' bisa berubah menjadi banyak kata dalam bahasa Madura. Misalnya be'na, panjhenengan, ajunan dhalem hingga padhanah dhalem. Kata-kata itu digunakan tergantung pada siapa lawan bicaranya. 

Selain itu, Bahasa Madura yang biasa dikidungkan dalam berbagai tembang rakyat juga memiliki nilai-nilai filosofi yang luhur. Banyak pesan-pesan moral yang terselip dalam tembang-tembang itu. semisal dalam tembang berjudul Paman Bhikang:

Paman Bhikang
Atokar ban kaka' kocor
Dhudhul se alanglang
Arebbhu’a potre mandi
Sompil noro', ban ghibanna e'sse geddhang 


(Paman bikang bertengkar dengan kocor. Dodol yang melerai. Berebut kue putri mandi. Nagasari ikut membawa pisang). 

"Tembang ini sering dinyanyikan oleh guru saya. Memang terkesan sepele karena soal kue yang bertengkar. Tapi kalau kita lebih teliti, ada pesan moral yang cukup menyentuh. Kue saja dilerai ketika bertengkar, apalagi manusia," jelasnya. 

Karena itulah, keunikan dan karaketer Bahasa Madura itulah yang terus dia lestarikan, paling tidak di lingkungan keluarganya sendiri. Ada satu harapan yang tertanam kuat dalam dirinya; anak-anaknya, cucu-cucu hingga cicit-cicitnya kelak, tak tercarabut dari akar budaya nenek moyangnya sendiri. 

Kepada mereka Marsudin juga telah bersiap mewariskan harta yang begitu berharga baginya. Yaitu otobiografi berbahasa Madura tentang perjalanan hidupnya yang ditulis dengan huruf carakan dalam bentuk tembang macapat. "Semua perjalanan hidup saya, saya ceritakan di buku ini. Termasuk cerita ketika saya sekolah di Bondowoso dengan jarak 27 kilometer dari Prajekan sering saya tempuh dengan berjalan kaki," pungkasnya.

Dedikasi Marsudin dalam menjaga keberlangsungan Bahasa Madura dilakukan dalam berbagai cara. Salah satunya dengan membikin epos atau cerita kepahlawanan Kyai Santawi dalam bentuk macapat berbahasa Madura. 

Selain pakar dalam keilmuan dan kaidah-kaidah Bahasa Madura, Marsudin juga memiliki perhatian yang cukup besar terhadap sejarah-sejarah perjuangan rakyat Bondowoso. Dia pun berupaya mengenalkan kembali sejarah-sejarah itu dengan caranya sendiri. Tak jauh-jauh dari keahliannya, yaitu dengan menciptakan macapat, atau seni melagukan bahasa Madura. 

Salah satu kisah kepahlawanan yang sudah dia ceritakan dalam macapat adalah kisah tentang perjuangan Kyai Santawi mengusir penjajah belanda dari bumi Bondowoso. Kyai Santawi adalah pahlawan dari Prajekan yang rela mengorbankan jiwa dan raga untuk tanah air tercintanya. 

Di era agresi militer Belanda jilid dua, Kyai Santawi dipercaya sebagai pimpinan pasukan Hizbullah/Sabilillah anak cabang Prajekan. Sebagai tokoh kala itu, Kyai Santawi pun terlibat dalam berbagai perang gerilya menghadapi penjajah Belanda. Setelah ditangkap dan dijebloskan ke penjara, Kyai Santawi pada tahun 1948 akhirnya diekskusi mati tentara Belanda. Kini jasadnya bersemayam di tanah kelahirannya, desa Prajekan Lor Kecamatan Prajekan. 

Oleh Marsudin cerita tentang perjuangan Kyai Santawi itu dikisahkan dengan kata-kata sastrawi nan indah melalui macapat berbahasa madura itu. Untuk menulis macapat itu, Marsudin harus melakukan riset ke sana-sini. 

Apalagi, tak banyak literasi sejarah yang mengupas tentang kepahlawanan Santawi ini. Untungnya saja, ada beberapa sanak saudara Kyai Santawi yang saat ini masih ada. Sehingga kisah tentang Santawi ini bisa terungkap. Bahkan ada petugas sipir saat Kyai Santawi dipenjara yang juga bersaksi bagaimana kondisi Kyai Santawi waktu itu. 

Macapat tentang Kyai Santawi karangan Marsudin itu berisikan enam tembang atau jenis lagu. Yaitu tembang Kasmaran, artate, dhurma, senom dan salangit. Masing-masing tembang menceritakan tentang tentang berbagai episode perjuangan Kyai Santawi. "Setiap tembang cara melagukannya juga berbeda-beda," ungkap Marsudin. 

Macapat Lima Tembang Kyai Santawi karya Marsudi ini sudah mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak Pemerintah daerah melalui Perpustakaan juga berencana untuk mencetak lima tembang macapat itu. Selain itu, apresiasi juga datang dari Pusat Kebudayaan Jogjakarta yang berencana mengabadikan macapat tersebut Pada 17 Agustus lalu, macapat lima tembang ini juga ditampilkan dalam malam apresiasi terhadap Kyai Santawi yang digelar oleh pemerintah desa Prajekan Lor. 

Kisah kepahlawanan Kyai Santawi ini juga telah dia selipkan dalam LKS untuk SD yang dia susun. Kisah itu dia beri judul Semangat se ta' taber (Semangat yang tak luntur). "Harapannya anak-anak SD sudah mengenal sejak dini tentang pahlawan-pahlawan lokal mereka. Sehingga mereka juga bisa meneladaninya," ujarnya. 

Perhatian Marsudin terkait dengan sejarah lokal Bondowoso juga menggugahnya untuk membikin macapat tentang kisah-kisah perjuangan lain dalam Bahasa Madura. Dia ingin membukukan perjuangan EJ Magenda, salah satu pahlawan Bondowoso dalam pertahanan atas serangan penjajah di gunung Purnama. Termasuk juga yang dia ingin bukukan adalah Babat Bondowoso. 

Terlepas dari itu semua, upaya pelestarian Bahasa Madura tentu tak bisa hanya dipasrahkan kepada Marsudin semata. Pemerintah haruslah memiliki peranan yang kuat agar pelestarian Bahasa Madura ini bisa terus dilakukan. 

Dalam berbagai upaya itu, Marsudin merasa upaya pemerintah masih setengah hati. Semisal dalam penempatan guru pengajar Bahasa Madura di sekolah-sekolah, banyak yang ddak mumpuni. Bahkan di sekolah-sekolah terkesan asal ada yang mau mengajar Bahasa Madura, itu sudah cukup. 

Persoalan kompleks Bahasa Madura bukanlah hal yang sepele. "90 persen masayarakat Bondowoso menggunakan Bahasa Madura. Tapi berapa persen yang menggunakan Bahasa Madura dengan baik dan benar?" ujarnya. Hal itu tentu menjadi persoalan tersendiri. Karena bisa jadi, sekian tahun ke depan, Bahasa Madura yang baik dan benar benar-benar punah. 

Namun begitu, Marsudin optimis jika Bahasa Madura masih akan tetap bertahan. Asalkan, ada upaya yang kuat, termasuk dari pihak pemerintah melalui sekolah-sekolah untuk benar-benar mengaplikasikan Bahasa Madura. Paling tidak, guru pengajar Bahasa Madura harus benar-benar yang memahami. 

Hal itu menurutnya sangat penting. Karena jangan sampai murid mendapatkan pelajaran yang kurang tepat. "Jangan sampai ketika murid, ketika benar-benar mendalami bahasa ketika kuliah nanti, mereka baru sadar bahwa apa yang diajarkan gurunya dulu justru keliru," ungkapnya. 

Selain itu, selama ini dia juga banyak menemukan materi pembelajaran Bahasa Madura yang terdapat di bukubuku LKS justru banyak yang keliru. Saat menemukan hal itu, dia tak ragu datang ke sekolah-sekolah untuk berdiskusi dengan para gurunya. 

Di lain sisi, dia juga berharap agar pemerintah daerah Bondowoso khususnya, memiliki perhatian bagaimana meningkatkan ketertarikan terhadap bahasa Madura. Salah satu yang dia impikan yaitu adanya lomba membaca Bahasa Madura, terlebih lomba mendengdangkan tembang macapat antar kabupaten.

InfoBondowoso.net - Radar Ijen, 28/03/15 -

Tidak ada komentar