Sholat Jamaah Terakhir Kita
Tak sering kita sholat berjamaah bersama di Musholla Al Hidayah, Jatimulya. Tentu saja, karena kita berbeda tempat tinggal. Aku di Mustika Jaya dan engkau di Jatimulya. Tapi kemarin, Rabu (30/12) kita berkesempatan sholat zuhur berjamaah, dan engkau persis berada di samping kiri aku.
Empat rakaat sholat kita lalui, diakhiri salam lalu engkau terlebih dulu mengulurkan tangan mengajakku bersalaman. Kita saling bertatapan, menebar senyum dan bertegur sapa, kemudian tenggelam dalam zikir. Usai itu, kita tak bersua lagi karena aku segera pergi setelah sholat sunnah ba'diyah.
Cuplikan peristiwa itu langsung aku ingat saat sebuah kabar duka datang di subuh buta. Engkau telah wafat pada Kamis dinihari, pada pukul 02.00. Berita itu bak palu godam yang menghantam tembok jiwaku.
Aku tak menduga itulah sholat berjamaah terakhir kita.
Aku tak menyangka itulah jabat tangan terakhir kita.
Aku tak mengira itulah senyum terakhirmu untukku.
Air mata ini mengalir deras saat aku berdoa di depan tubuh engkau yang terbujur kaku. Tak kuasa aku menahan desakan kuat air mata dari kelopak mataku. Aku tatap wajah engkau, aku cium kening engkau diiringi air mata yang terus mengalir. Dan tangan engkau tak lagi bisa menjabat erat tanganku seperti yang engkau lakukan kemarin.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa fu'anhu...
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa fu'anhu...
Hanya itu kata yang dapat aku ucapkan saat kita kembali bersua dengan kondisi engkau tak lagi bernyawa.
Aku tak lagi bisa menahan derasnya air mata ketika menyaksikan anak-anakmu menyiramkan air kala memandikan engkau. Mereka masih kecil-kecil, tapi terlihat tegar meski kesedihan terlihat jelas di wajah mereka.
Satu per satu anak engkau mengguyurkan air dengan perlahan. Semuanya berjumlah delapan orang. Air itu membasahi sekujur tubuh engkau. Dan lamat lamat, isak tangis aku dengar memadati ruang pemandian. Aku larut dalam kesedihan.
Saudaraku, tak hanya sholat jamaah terakhir yang aku kenang tentang engkau. Aku masih ingat saat kita kerap berdiskusi tentang perkembangan dakwah jamaah kita.
Aku juga masih ingat kisah sekitar 3 tahun lalu. Engkau meminjamkan aku sepeda karena sepedaku bannya kempes mendadak dan baru aku ketahui di pagi hari, tepat saat aku harus berangkat untuk bersepeda bersama ikhwah DPRa Jatimulya.
"Silakan Akh. Ambil saja akh di rumah," jawab engkau memenuhi permintaanku.
Dan yang paling membuatku terharu adalah ketika teringat anak engkau yang mengantarkan segalon kangen water ke rumah ibuku. Beberapa kali aku menjumpainya menggotong galon ukuran kecil jika kebetulan aku sedang menjenguk ibuku yang rumahnya tak jauh dari kediaman engkau.
Aku membayangkan betapa engkau adalah sosok bapak yang luar biasa. Mendidik anak sejak dini untuk berwirausaha. Mengajarkan anak untuk berniaga dan mandiri.
Engkau sungguh figur bapak yang hebat. Sudah beberapa hari ini engkau kerja hingga larut malam meski kondisi jantung engkau tak lagi normal karena sudah dipasang ring. Dan kematian akhirnya datang menjemput usai engkau pulang memasang CCTV yang selesai engkau kerjakan pada pukul 00.00.
Tak salah jika dalam sambutan Abdurrahman, anak kedua engkau, usai mensholatkan jenazahmu, ia berkata:
"Bapak sosok yang bertanggungjawab. Demi Allah, kami anak-anaknya akan berusaha menjadi anak yang sholeh dan sholehah serta hapal Al Quran. Kami ingin memakaikan mahkota kepada bapak dan umi di akhirat," ungkapnya sesegukan.
Saudaraku, hampir 24 jam setelah pertemuan kita yang terakhir, kita kembali ke lokasi yang sama: Musholla Al Hidayah. Tapi kini posisi kita berbeda. Engkau tak lagi ada disisiku, tapi ada di depanku, beralaskan keranda dan berselimutkan kain hijau.
Lalu ada pesan yang Ust Syahrizal Kholid yang membuat mata ini kembali membasah untuk melepas kepergian engkau.
"Al Akh Sawadi, engkau adalah salah satu kader dakwah terbaik. Engkau adalah mujahid yang istiqomah bersama kafilah dakwah ini. Kita tak berpisah, yakinlah, kita akan kembali bertemu di surga Allah."
Selamat jalan saudaraku.
Dari Saudaramu,
Erwyn Kurniawan
Post a Comment