Keteladanan Murabbi
dakwatuna.com – Pernahkah
Anda mengalami suatu saat ketika Anda membuka mushaf dan Anda mulai
membaca Al-Qur’an kemudian anak-anak Anda datang mendekati Anda sambil
membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa
yang tengah anda lakukan? Pernahkah Anda mendapatkan mutarabbi (objek
dakwah/peserta didik/murid) Anda mengerjakan shaum (puasa)
sunnah padahal Anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya? Hal
tersebut dilakukan oleh mutarabbi Anda hanya karena ia mendapatkan Anda
juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah Anda
mengalami khadimat Anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan
penampilannya di tengah-tengah keluarga Anda, mulai terbiaasa mengenakan
gaun panjang, memakai kerudung
walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan
ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah
apalagi di luar rumah? Padahal isteri Anda belum pernah berkata
kepadanya bahwa memakai jilbab
itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat Al-Qur’an yang berkenaan
dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-Nur maupun Al-Ahzab.
Itulah
buah dari keteladanan. Ketealadanan adalah cara berdakwah yang paling
hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan
bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan
sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata.
Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan
mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut,
lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini: “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.
Oleh
karena itu, penting bagi para murabbi (dai/pendidik/guru/orang tua)
untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan agar
keteladanaannya memberi keberkahan bagi perkembangan dakwah dan
peningkatan kualitas maupun kuantitas para mutarabbi yang mereka bina.
Karena itu para murabbi pun perlu berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang
tercatat sejarah sebagai murabbi teladan, setidaknya melalui suratun hayawiyyah (gambaran kehidupan mereka), khusunya dalam melakukan aktivitas pentarbiyahan (mendidik mutarabbi).
Perhatikanlah kehidupan Murabbi hadzihil ummah, Rasulullah saw. Telusuri keteladanan figur murabbi pada diri sahaabatnya, para tabi’in, dan ulama salaafussalih. Aina nahnu minhum?
Kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Bahkan rasanya
mustahil bisa sama dengan mereka. Itulah satu perasaan yang akan
terlintas di benak kita ketika mengetahui keteladaanaan mereka sebagai
murabbi. Tetapi kita dinasihati oleh satu pepatah: tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun, teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani orang-orang mulia adalah satu keberuntungan.
Keteladanan Rasulullah saw.
Sebagai murabbi Rasulullah saw. selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28), qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan (An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).
Sebagai
murabbi, Rasulullah saw. tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan
kata-kata, apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain. Diriwayatkan
oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi
saw. telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil
zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Raasulullah saw.
seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu
Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja
dan puji kehadirat Allah swt., beliau berkhutbah seraya berkata, “Sesungguhnya
aku megutus seseorang di antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana
yang telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan
berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini hadiah untukku. Jika orang itu
benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga
hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah mengambil
seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan
Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu Rasulullah
saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya
berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan.
Ya Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim)
Rasulullah
juga tidak pernah menjaga jarak dengan mutarabbinya. Sehingga tidak
terjadi kesenjangan psikologis antara mutarabbi dengan murabbi. Hal ini
dapat dilihat dari dialog lepas antara Jabir bin Abdillah dengan
Rasulullah saw. “Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw. pada
peperangan Dzatirriqa’. Aku mengendarai seekor onta yang lamban jalannya
sehingga aku tertinggal jauh dari Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah
saw. menemuiku seraya berkata, “Kenapa engkau, hai Jabir? ” “Ontaku, ya Rasulallah, jalannya lamban sekali,” balasku. Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku sepotong kayu.”
Aku berikan kepadanya dan beliau pun memukulkan kayu tersebut secara
perlahan ke onta saya. Lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu. Demi
Allah, tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat.
Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan,
“Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan
meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku
menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan
pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya
Allah.”
Keteladanaan Para Sahabat r.a.
Di
antara para sahabat yang paling menonjol keteladanannya adalah Abu
bakar As-Shiddiq r.a. Bukan hanya karena ia adalah satu-satunya sahabat
yang mendapat gelar as-sihiddiq dan juga bukan hanya karena satu-satunya
sahabat yang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanaan hijrah ke
Madinah. Tetapi lebih dari itu, karena Abu Bakar layak disebut sebagai
murabbi hadzihil ummah sepeninggalnya Rasulullah saw. Beliaulah yang
memandu akidah dan fikrah para sahabat yang lainnya ketika mereka masih
belum legowo menerima berita wafatnya Rasulullah saw., bahkan termasuk
Umar bin khattab r.a. Pada saat itulah Abu bakar memberikan taujih
tarbawy dengan membacakan firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat
144, seraya menambahkan penjalasan dengan kata-kata hikmahnya, “Man kaana ya’budu muhammadan fainna muhammad qod maata, wa man kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun laa yamuutu, barangsiapa
yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah tiada; tetapi
barangsiapa yang menyembah Allah swt., sesungguhnya Allah Hidup dan tidak akan mati.” Itulah keteladanan Abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya tarbiyah aqidiyah.
Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa gerakan pemurtadan (harakatul irtidad),
dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat,
lagi-lagi Abu bakar tampil sebagai pelopor. Dengan ketegasan sebagai
murabbi, Abu Bakar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan memerangi
mereka. Banyak para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, masih
beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang
kemurtadan. Abu Bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat
khususnya Umar dengan kalimat, “Hatta anta, ya Umar,
ajabbaarun fil jahiliyah hhawwarun fil Islam? Wallaahi, laa
yanqushuddinu wa anaa hayyun, lau mana’uuni ‘uqqaalu ba’iirin
yuadduunahi ila Rasuulillah lahaarabtuhu hatta tansalifa saalifaty, sampai
engaku juga, Ya Umar. Apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa
jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa Islam? Demi Allah, tidak akan
berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama aku masih hidup, walaupun
mereka tidak memberikan hanya seutas tali onta yang harus diberikan
kepada Rasulullah, maka tetap akan ku perangi mereka sampaai urat
leherku terputus.”
Bahkan keteladan
Abu Bakar sebagai murabbi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga
langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkret agar menjadi
contoh bagi para sahabat yang lain. Misalnya pada saat sebagian besar
para sahabat (kibaarus shahabah) keberataan dengan diangkatnya
Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando
Rasulullah saw. sebelum wafatnya. Abu Bakar berazam untuk tidak
membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. seraya mengiringi
pelepasan ekspedisi Usamah dengan menuntun kudanya sampai perbatasan.
Sejak awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki
sementara ia berada di atas kudanya. Lalu Usamah menawarkaan agar ia
turun, Abu Bakar saja yang naik kuda. Abu Bakar berkata, “Wallahi maa rakibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah, Demi Allah, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun. Biarkanlah kakiku bersimbah debu di jalan Allah.”
Keteladanan Ulama Salafusshalih
Salah
satu di antara mereka adalah Atho bin Abi Rabaah rahimahullah. Beliau
memimpin halaaqah (kelompok pengajian) besar di Masjidil Haram semasa
Sulaiman bin Abdil Malik menjadi Khalifah. Khalifah sering menghadiri
halaqah Atho bin Abi Rabah. Padahal Atho adalah seorang habsyi (negro
asal Ethiopia) yang pernah menjadi budak seorang wanita penduduk Kota
Mekkah. Atho dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami ajaran
Islam.
Keteladanan
Atho bin Abi Rabaah sebagai murabbi adalah kelembutannya dan ketajaaman
nasihatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih sayang. Itu
seperti yang dikisahkan Muhammad bin Suqah, salah seorang ulama Kufah,
bahwa suatu ketika Atho bin Abi Rabaah menasihatinya, “Wahai anak
saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai
pembicaraan yang berlebihan.” “Lalu apa batasannnya pembicaran yang
berlebihan?” tanyaku. Beliau melanjutkan nasihatnya, “Mereka
mengkategorikan pembicaraan berlebih bila dilakukan selain dari
Al-Qur’an yang dibaca dan difahami; atau hadits Rasulullah yang
diriwayatkan; atau berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar; atau
pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan persoalan maisyah.”
Kemudian beliau mengarahkan pandangannya kepadaku seraya berkata, “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kiraaman kaatibiin) (Al-infithar: 10-11), wa anna ma’a kullin (‘minkum malakaini Anil yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi raqiibun ‘atiid) (Qaf: 17-18), Amaa
yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi shahiifatuhullatii amlaa’aahaa
shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa laaisa min amri diinihi
walaa amri dunyaahu.”
Kapabilitas
takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah
dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar,
tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam
Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik
haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku
ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur,
lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu.
Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga
gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap
kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian
menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai
mencukur kepalaku dari sebelah kanan.
Ketika
aku dicukur, ia melihatku diam saja. Lalu ia menegurku, “Kenapa koq
diam saja? Ayo perbanyaklah takbir.” Maka aku pun bertakbir. Setelah
selesai, aku hendak langsung pergi. Lalu ia berkata, “Mau kemana kamu?”
“Aku mau ke kendaraanku,” jawabku. Tukang cukur itu mencegahku seraya
berkata, “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana kau suka.”
Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini
kalau bukan dia orang alim. Lalu aku berkata kepadanya, “Dari mana
engkau dapati mengenai beberapa manasik yang kau perintahkan kepadaku?”
“Demi Allah, aku melihat Atho bin Abi Rabaah mempratekkan hal itu, lalu
aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya,”
jawab tukang cukur alim tersebut.
Di
antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam
mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan
bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka
menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah
menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal
itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”
Adalah
Said Ibnul Musayyib rahimahullah (juga seoarang murabbi yang
keteladanannya patut dicontoh oleh para murabbi). Ia memimpin halaqah
yang cukup besar di Masjid Nabawi. Si samping beliau, juga terdapat
halaqah ‘Urwah bin Zubair dan Abdullah bin ‘Utbah rahimahumallah. Said
Ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu Wada’ah. Suatu
ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak hadir. Tentu saja Said bin
Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya itu. Beliau khawatir kalau-kalau
ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya. Lalu
beliau bertanya kepada murid-muridnya yang lainnya. Namun tidak ada
yang tahu. Beberapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah datang kembali
sebagaimana biasa. Maka sang murabbi teladan Said bin Musayyib segera
menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian. “Kemana saja
engkau, ya Aba Wada’ah?” “Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk
mengurusinya,” jawab Abu wada’ah. “Mengapa tidak beritahu kami sehingga
kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah isterimu serta membantu
segala keperluanmu?” tanya Said kembali. “Jazaakallahu khairan,” jawab
Abu Wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena
khwatir merepotkan murabbinya.
Tidak lama
kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya,
“Apakah engkau belum terpikir untuk mencari isteri yang baru, ya Aba
Wada’ah?” “Yarhamukallah, siapa orangnya yang mau mengawini anak
perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim, fakir, dan
hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” tandas
Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan
dirinya. “Aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku,” tegas
Said. Dengan terbata-bata Abu Wada’ah berucap, ” Eng… engkau akan
mengawiniku dengan anak perempuanmu padahal engkau tahu sendiri
bagaimana keadaanku.” “Ya, kenapa tidak? Karena kami jika sudah
kedataangan seseorang yang kami ridha terhadap agamanya dan akhlaknya,
maka kami kawinkan orang itu. Dan engkau termasuk orang yang kami
ridhai,” jawab Said meyakinkan mutarabbinya.
Lalu
dipanggillah orang-orang yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan
akad nikah dengan mahar sebanyak dua dirham. Abu Wada’ah benar-benar
terkejut tak tahu harus berkata apa. Antara kaget daan girang ia pulang
menuju rumahnya. Sampai-sampai ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum
karena di tengah perjalanan ia terus berpikir dari mana ia akan
menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa? Tak terasa ia sudah
sampai di rumah dan adzan maghrib pun tiba. Lalu ia berbuka dengan
sepotong roti. Baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang
mengetuk pintu. “Siapa yang mengetuk pintu,” tanyanya dari dalam rumah.
“Said,” jawab suara di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya.
Setelah
dibukanya tiba-tiba sang murabbi sudah ada di hadapannya. Abu Wada’ah
mengira telah terjadi “sesuatu” dengan pernikahannya, lalu ia langsung
menyapa sang murabbi seraya berkata, “Ya Aba Muhammad, mengapa tidak
engkau utus seseorang memanggilku sehingga aku yang datang menemuimu.”
“Tidak. Engkau lebih berhak aku datangi hari ini.” Setelah dipersilakan
masuk, Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya. “Sesungguhnya
anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan syari’at Allah
swt. sejak tadi pagi. Dan aku tahu tidak ada seorang pun yang
menemanimu, menghiburmu, dan melipur kesedihanmu, maka aku tidak ingin
engaku bermalam pada hari ini di suatu tempat sedang isterimu masih
berada di tempat lain. Sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke
rumahmu.”
Lalu Said menoleh ke arah
puterinya seraya berkata, “Masuklah engkau ke rumah suamimu, wahai
Puteriku, dengan menyebut asma Allah dan memohon barakah-Nya.” Masuklah
anak perempuan Said dan ketika melangkahkan kakinya nyaris keserimpet
(terinjak gaunnya) hingga hampir jatuh karena saking malunya. “Sedang
aku juga cuma berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus
berkata apa,” kata Abu Wada’ah mengenang kejadian itu. Tapi kemudian ia
cepat-cepat mendahului isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan
cahaya lampu dari sepotong roti yang memang tinggal segitu-gitunya
supaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru setelah itu ia keluar rumah
memanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.
Itulah
keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin
Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah
segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang
sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.
Lain
lagi dengan kisah Imam Abu Hanifah. Ia dikenal dengan nama Nu’man bin
Tsabit rahimahullah. Beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak
dipandang. Wajahnya berseri-seri. Pengtahuannya dalam. Manis tutur
katanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian. Jika
beliau datang ke majelis taklimnya, semua orang yang ada di situ sudah
mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang
dipakainya.
Di samping cerdas, alim,
faqih, beliau juga dikenal sebagai murabbi yang dermawan. Maklum, beliau
seorang saudagar pakaian, kain, dan sutera. Beliau berdagang
berkeliling dari kota satu ke kota lain di wilayah Irak.
Suatu
ketika salah seorang muridnya datang ke tempat jualannya. Ia minta
dicarikan baju, lalu beliau mencarinya sesuai dengan warna yang
dimintanya. “Berapa harganya?” tanya sang murid. “Sedirham,” jawab Imam.
“Satu dirham?” tanya sang murid heran. Itu sangat murah. “Ya, segitu.”
“Yang benar nih….” kata muridnya lagi. “Aku tidak main-main. Aku beli
baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh dinar emas dan
satu dirham perak. Yang satu aku sudah aku jual, sedang yang sisanya
ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham. Aku memang tidak mau
mengambil untung terhadap murid-muridku.”
Suatu
ketika Imam Abu Hanifah melihat salah seorang mutarabbinya berpakaian
lusuh sehingga terkesan tidak enak dipandang. Setelah murid-murid yang
lain keluar dari majelis, sehingga tidak ada seorangpun di dalam majelis
itu selain Imam Abu Hanifah dengan mutarabbinya tersebut, beliau
berkata kepadanya, “Angkatlah sajadah ini lalu ambil sesuatu yang ada di
bawahnya.” Setelah diambilnya ternyata uang sebanyak seribu dirham.
“Ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu,” tegas Imam Abu Hanifah.
Lalu kata orang itu, “Aku sudah cukup. Allah telah melimpahkan
nikmatnya kepadaku. Aku tidak membutuhkan uang ini.” Dengan cerdasnya
Imam Abu Hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu, “Jika memang
benar-benar telah melimpahkan nikmatnya kepadamu, lalu mana bukti
kenikmatan-Nya itu? Bukankah Rasulullah saw. bersabda, ‘Innallaha
yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala ‘abdihi, sesungguhnya Allah
swt. senang melihat bukti kenikmatan yang diberi-Nya terlihat pada
hamba-Nya? Karena itu, sudah sepantasnya engkau memperbaiki keadaanmu
agar engkau tidak membuat sedih saudaramu.”
Itulah beberapa keteladan ulama salafussalih dalam mentarbiyah para mutarabbinya. Wallahu ‘alamu bisshawaab.
Post a Comment