Header Ads

ad

Tersangka Baik

By : Fitria Eva

Dengan kerudung lebar, baju longgar, dan kaos kaki seringkali banyak orang dan orang kebanyakan di sekitar kita menjadi over-estimate. Apalagi saat tanpa sengaja mereka mengintip ada alquran kecil dalam tas kita. Plus, HP yang menyalak nyaring menggemakan lagu tanpa musik yang syairnya ada kata ‘cinta Allah’, ‘syahid’, ‘surga’….atau bahkan murrotal.

Maka jangan salahkan mereka kalau kita diterjemahkannya sebagai ‘orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur’. Tak pernah semalampun terlewat tanpa membasahi sajadah dengan airmata munajat. Wajar jika mereka mencurigai kita adalah istri-istri sholihah yang selalu memandang suami dengan mata qona’ah, tak pernah membantah, apalagi marah-marah.

Belum lagi ketika ternyata kita mendapat amanah membagi ilmu, menjadi pengisi majelis taklim ibu-ibu lugu yang dengan mentah dan jujurnya langsung menempatkan kita sebagai contoh hidup dari materi yang kita sampaikan. Sabar. Pintar. Rapi. Ramah.

Di cap baik itu tentu menyenangkan, tetapi di –cap jauh lebih baik dari kenyataannya seringkali justru menggelisahkan. Duhai, alangkah malu nanti di Padang Mahsyar saat semua diputar ulang. Mereka akan tahu bahwa alquran kecil yang selalu ada di tas itu lebih demi mengejar setoran hafalan yang lewat deadline. Bagaimanakah rasanya nanti saat diketahui betapa ternyata malam-malam kita tak lebih baik dari mereka. Atau profil cerdas nan terjaga itu hanya saat tampil sepekan sekali di hadapan mereka sementara 6 hari lainnya kita hanyalah wanita-wanita yang juga terjebak di depan acara gosip televisi. Naudzubillah…

Mungkin itulah yang membuat seorang teman begitu panik saat mendapat pujian. Seperti siang itu saat seorang temanku sedang sibuk membantah ‘citra baik’ yang dilekatkan seorang ibu -mad’u- nya kepadanya.

“Kapan ya saya bisa seperti mbak? Sholihah, cantik. Aduh, pasti suaminya senang sekali punya istri seperti mbak ini. Saya tuh mbak kalau sudah ngeliat mbak jadi semangat ingin pintar, ingin rajin ibadah, ingin tutup aurat dengan sempurna. Tapi sampai di rumah kembali lagi deh ngomel-ngomel, ngerumpi. Gimana sih mbak biar bisa kayak mbak ini?” kata si ibu  sambil tangannya sibuk mengusap-usap, menepuk-nepuk, dan bahkan sedikit mengguncang-guncang tangan temanku yang terlipat kikuk.

Tidak sekali dua aku melihat hal semacam itu, bahkan juga mengalaminya sendiri. Menghadapi  prasangka orang yang terlampau baik terhadap diriku. Rata-rata reaksi teman-teman seragam. Mereka cepat-cepat memotong lalu mengupas diri dengan menyebut semua kebiasaan-kebiasaan buruknya.

“ Ah, nggak jugalah bu. Ibu tahu tadi malam saja saya tidak qiyamul lail bahkan Subuh kesiangan. Bahkan  saya masih punya hutang puasa saat menyusui anak saya yang pertama, padahal sekarang sudah hamil anak ketiga nih.”

“Saya tidak sebaik itu bu. Kalau marah juga kadang saya suka lepas kontrol. Malah saya ini sebenarnya termasuk orang yang gampang marah lho bu”

“Waduh, saya juga masih suka kok bu nonton gossip…hehehhe…”

Saya yakin semua jawaban atau bantahan itu berasal  dari kepanikan. Kita takut dengan citra baik yang dilekatkan orang pada kita. Tapi meruntuhkannya dengan membuka aib sendiri saya rasa juga kurang ahsan.

Tak ada seorang manusiapun di dunia ini yang tak pernah berbuat kesalahan. Karena khilaf, karena tidak paham ilmu, karena nafsu, karena lingkungan. Yang terpenting adalah karena memang sebenarnya Allah telah menakdirkan kita sebagai rumah bagi iman yang fluktuatif.

Maka mencari sosok ideal yang seluruh perjalanan hidupnya putih bersih adalah menjadi sebuah kemustahilan. Begitupun kita. Ketika saat ini banyak orang melabeli kita dengan judul yang kadang terasa terlalu jauh dari diri kita yang sebenarnya maka tidak lantas harus disikapi  dengan begitu reaktif. Membongkar semua keburukan dan aib-aib diri degan lugas dan deskriptif.

Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya. (HR. Muslim)

Saat Allah swt membaikkan dirimu di mata orang-orang di sekelilingmu, itu artinya Dia telah memakaikan busana kasih sayang-Nya padamu. Kita selayaknya pemilik hak cipta amal yang terus mendapat royalti dari pengkonsumsi produk kita. Sungguh tidak semua manusia mendapat anugerah seindah itu.

Rasa panik, rasa malu, rasa segan, saat kita tahu kita dihargai terlalu mahal dibanding kualitas kita yang sebenarnya bukanlah alasan untuk kita mengoyak perlindungan yang telah Allah lekatkan. Justru adanya rasa itu adalah tuntunan Allah untuk menggiring kita kepada tekad untuk sungguh-sungguh memantaskan diri terhadap persepsi dunia luar.

Alangkah risau hati ini membaca sabda Rasulullah saw
Pada hari kiamat nanti akan didatangkan seorang lelaki kemudian dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan berputar-putar dineraka seperti keledai mengitari alat penumbuk gandumnya, kemudian penduduk neraka bertanya: Hai fulan! Apa yang menimpamu, bukankah dulu kau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?  Ia menjawab: Benar, dulu saya memerintahkan kebaikan tapi saya tidak melakukannya dan saya melarang kemungkaran tapi saya melakukannya.(HR.Muslim)

Bersyukurlah saat engkau masih risau, artinya hatimu hidup. Namun sekali lagi, bukan alasan yang bijak untuk menghindar dari ancaman siksa itu dengan jalan berhenti menjadi (disangka) baik. Tapi risau itu seharusnya menjadi bahan bakar yang meledak memacu motivasi kita untuk menjadi sejati dalam kebaikan. Baik sungguhan. Baik original. Bukan baik KW.

Engkau hanya harus benar-benar risau saat hatimu tak lagi risau. Pujian dan persepsi baik itu makin melenakan dan membuat kita nikmat dan aman. Saat itulah semoga ada teman yang mengingatkan bahwa punggung kita telah benar-benar patah oleh pujian. Naudzubillah.

Tidak ada komentar