Pembakaran Bayi Palestina dan Makna Kemerdekaan Indonesia
Oleh: Muhammad Pizaro
Jurnalis dan Redpel Islampos
NAMANYA Ali Dawabsha. Umurnya baru 18 bulan. Mungil, lucu, dan menggemaskan. Anak tak berdosa ini tiba-tiba menghentak dunia kemanusiaan. Tubuhnya hangus terbakar setelah dilempari bom molotov oleh para teroris Yahudi.
Malam itu, para ekstrimis Yahudi menyatroni rumah keluarga Dawabsha di Duma, Selatan Nablus dengan membawa sejumlah bahan bakar. Tak hanya itu, mereka jua mencorat-coret dinding dan menyebut aksi ini sebagai pembalasan mesiah kepada bangsa Palestina. “Dendam itu abadi,” tulis mereka.
Api berkobar, asap mengepul, dan tangis Ali Dawabsha pecah. Permintaan tolong keluarga menembus langit Nablus. Raungan itu menghentak warga Palestina untuk bergegas memadamkan api.
Tiga buah ambulan langsung menepi. Tiga anggota keluarga selamat, tapi bayi mungil itu tak bisa tertolong. Tubuh Ali Dawabshah, bocah malang itu, hangus terbakar.
Solidaritas Ali menggema di seluruh dunia. Seniman Palestina Nader Hamudah, mengutuk tindakan bar-bar pemukim Yahudi dan menciptakan lagu solidaritas untuk Ali Dawabshah.
Di Afrika, Baghdad Bounedjah, pemain klub Tunisia Etoile Sportive du Sahel, mencetak gol dengan mengangkat bajunya dan menunjukan gambar Ali Dawabsha.
Bagi Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, pembunuhan balita Palestina adalah aksi teroris. Sedangkan Uni Eropa mendesak rezim Israel menolak intoleransi bagi tindakan kekerasan terhadap bangsa Palestina, dan menerangkan kematian sang bocah sebagai pembunuhan berdarah dingin.
Malang, tak lama berselang, ayah kandung Ali Dawabsha menyusul sang buah hati tercinta. Saad Dawabsha (32), meninggal akibat luka bakar pada sekujur tubuhnya. Sementara istri dan anak mereka lainnya yang berusia 4 tahun masih berada dalam kondisi kritis.
Kebiadaban Israel tampaknya tak jua mengetuk hati Pemerintah Indonesia. Di tengah duka muslim dunia, pemerintah justru mengizinkan kehadiran atlet bulu tangkis Israel Misha Zilberman.
Awalnya pemerintah Indonesia menolak untuk memberi izin atlet Israel, namun hal ini mendapat kecaman dari organisasi Yahudi. Apa daya, kita memang belum memilki nyali sebesar Bung Karno. Akhirnya utusan negara penjajah itu melenggang bebas di atas negara yang memilik prinsip bahwa “penjajahan di dunia harus dihapuskan”.
Israel memang tidak punya hubungan diplomatik resmi dengan Indonesia, tapi keberhasilan Misha menembus Indonesia, menunjukkan seberapa kuat lobi Israel dan sekutunya terhadap pemerintah.
Tragedi ini kian melengkapi duka nurani usai kunjungan tokoh nasional ke Israel (2007), kehadiran Ferry Mursildan Baldan (kini Menteri Agraria) di HUT Israel di Singapura (2012), kedatangan pendeta Israel Benjamin Berger hingga meletus kerusuhan di Tolikara oleh GIDI (2015), dan kisah-kisah pilu lainnya.
Belum kering lidah pemerintah menyuarakan kemerdekaan Palestina di Konferensi Asia-Afrika, Mei silam. Belum hilang kita kekaguman kita atas janji Jokowi terhadap kemerdekaan Palestina. Tapi Misha Zilberman telah menjawab semuanya. Bahwa dukungan pemerintah kepada Palestina adalah dongeng.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi berdalih, bahwa pemberian visa tersebut sudah sesuai prosedur. Prosedur tersebut telah disepakati oleh seluruh negara di dunia karena kejuaraan bulutangkis adalah event bilateral.
Pertanyaannya, bukankah Asian Games pada tahun 1962 juga event bilateral yang memungkinkan seluruh negara bisa ambil bagian? Namun sikap Bung Karno sangat tegas dengan mengeluarkan Israel sebagai wujud kedaulatan Indonesia dan amanat UUD 1945. Sekali lagi, ini urusan nyali dan keberpihakan. Keberpihakan sebuah negara merdeka kepada saudaranya yang terjajah.
Sontak, keberhasilan Misha yang menembus Jakarta dengan jalur resmi membuat Israel begitu bangga.
“Bagi kami, (kehadiran Misha di Indonesia) adalah kemenangan besar … Sekarang dia duta olahraga Israel,” ucap Sekjen Komite Olimpiade Nasional Israel (OCI) Gili Lustig.
Ya, seperti kebanggan para teroris Yahudi dalam membakar bayi Palestina.
Palestina dan
Kemerdekaan Indonesia
Jelang kemerdekaan RI ke-70, kita pun patut bertanya, sudah sejauh manakah dukungan bangsa kita terhadap kemerdekaan bangsa Palestina. Apakah makna terpenting dari Kemerdekaan Indonesia di tengah berlangsungya penjajahan Israel kepada bangsa Palestina
Terkait dua pertanyaan ini, ada hal menarik yang patut diangkat. Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri menjelaskan bagaimana dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di tengah negara-negara lain yang belum berani untuk memutuskan sikap.
Setahun sebelum kemerdekaan Indonesia, Mufti Besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini telah menyuarakan dukungannya atas kemerdekaan Indonesia. Pidato beliau bahkan disiarkan di radio selama berhari-hari dan menjadi inspirasi bangsa Palestina untuk mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.
Dukungan serupa juga dinyatakan seorang saudagar ternama Palestina saat itu, Muhammad Ali Taher, setahun sebelum Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI.
Beliau bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia dan spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata, “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia.”
Semua momentum emosional itu dilakukan oleh Bangsa Palestina kepada saudaranya di Indonesia, meski mereka masih terjajah dan mengalami penindasan oleh kelompok Yahudi.
Kondisi bangsa-bangsa yang masih terjajah inilah yang melatarbelakangi semangat Indonesia dalam mengadvokasi hak asasi sebuah bangsa untuk dapat merasakan angin kemerdekaan.
Hal itu sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Sudah saatnya, cuplikan pembukaan UUD 1945 menyentak nurani kita untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina dan menolak eksistensi penjajah Israel.
Post a Comment