Menjadi Pelopor Kebaikan
Rasulullah saw.
bersabda, “Siapa yang menunjukkan jalan kebajikan maka ia memperoleh
pahala (seperti pahala) orang yang melaksanakannya.” (Muslim,
At-Tirmidzi, Ibnu Hibban)
Menunjukkan jalan kebajikan adalah salah satu tugas dakwah. Tentu saja tujuannya untuk mengajak orang-orang melakoni
kebajikan itu. Tetapi ingat, mengajak tidak cukup dengan bunga-bunga
kata. Seseorang yang mengkampanyekan kebajikan haruslah menjadi pelopor
kebajikan itu sendiri.
Karena, tidak semua objek dakwah
berprinsip “dengar perkataannya, bukan lihat siapa yang mengatakan”.
Masih banyak yang menilai sesuatu itu benar atau salah, menerima atau
menolak dakwah dengan merujuk pada apa yang ia lihat pada si juru
dakwah. Jika rasa simpati dan cinta manusia terhadap diri dai merupakan
salah satu kunci keberhasilan dakwah, maka mewujudkannya dalam diri dai
adalah bagian dari dakwah itu sendiri.
Rasulullah
saw. sosok yang simpatik dan mempesona. Karena itu, orang-orang yang
didakwahinya tidak punya alasan untuk mencela. Mereka yang menolak
dakwah sekalipun mengakui bahwa Rasulullah saw. orang yang layak
dicintai karena amanah, kejujuran, dan pekertinya yang baik.
Paling-paling dalih mereka untuk menolak beliau –karena mereka tidak
punya alasan lain– adalah dengan menuduh apa yang dibawa oleh Rasulullah
adalah sihir. Suatu tuduhan yang tidak dapat dibuktikan.
Yang Utama: Cinta Allah.
Hal utama yang harus dikejar adalah kecintaan Allah. Mengapa? Pertama,
dakwah adalah tugas suci dari Allah. Restu Allah sangat menentukan
berhasil dan gagalnya proyek itu. Mengejar cinta manusia dengan membuat
murka Allah, pasti akan menggagalkan dan menghancurkan dakwah itu
sendiri.
Kedua,
bila Allah telah mencintai seseorang, maka orang tersebut akan
mendapatkan tempat dan memperoleh penerimaan yang luas di kalangan
manusia. Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah jika mencintai
seorang hamba, Dia memanggil Jibril seraya mengatakan, ‘Sesungguhnya Aku
mencintai si fulan maka cintailah dia.’ Maka Jibril mencintainya.
Kemudian ia (Jibril) menyerukan di langit dengan mengatakan,
‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan maka cintailah dia oleh kalian.’
Maka penduduk langit mencintainya. Kemudian jadilah orang itu
mendapatkan penerimaan di bumi. ” (Shahih Al-Bukhari dan Muslim)
Tidak ada cara lain untuk meraih cinta Allah selain dengan cara taat kepada-Nya dalam keadaan apa pun. Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Ali Imran: 31). Selebihnya, juru kampanye kebenaran,
keadilan, dan kebajikan wajib melakukan kiat-kiat islami untuk
menumbuhkan keberpihakan masyarakat kepada kebenaran. Beberapa di
antaranya adalah:
a. Berlapang Dada.
Berlapang dada dalam merespon kesalahan-kesalahan terutama yang “merugikan” diri penyeru merupakan pintu gerbang penting bagi hadirnya kecintaan. Allah swt. berfirman: “Mereka
harus memaafkan dan berlapang dada. Tidakkah kamu ingin bahwa Allah
mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22)
Sikap
memaafkan ini tentu saja akan membuat hati menjadi lembut. “Islam
menjadikan sikap pemaaf dan berlapang dada sebagai salah satu jalan
tarbiyah. Sikap itu dapat membersihkan hati dari dengki dan
kecenderungan-kecenderungan buruk lainnya. Dengan demikian meningkatlah
keyakinan seorang muslim dan semakin sempurnalah keimanannya,” kata
Musthafa Abdul-Wahid dalam Syakhshiyyatul Muslim Kama Yushawwiruhal Quran.
b. Mencintai karena Allah.
Untuk
meraih cinta yang tulus adalah dengan mewujudkan cinta yang tulus.
Cinta palsu hanya akan melahirkan cinta gombal. Oleh karena itu,
landasan interaksi seorang dai dengan mad’unya hanyalah landasan cinta
karena Allah swt. Anas bin Malik mengatakan, “Aku sedang duduk-duduk di
sisi Rasulullah saw. tiba-tiba seorang laki-laki lewat. Seseorang dari
yang sedang duduk bersama Rasulullah saw. mengatakan, ‘Ya Rasulullah
saw. aku mencintai orang itu.’ Rasulullah saw. mengatakan, ‘Sudahkah
kamu menyatakannya kepadanya?’ Orang itu menjawab, ‘Belum.’ Kata
Rasulullah saw., ‘Bangunlah dan nyatakanlah kepadanya.” Maka orang itu
bangkit menuju ke arahnya seraya mengatakan, ‘Uhibbuka fillah (aku mencitaimu karena Allah).’ Orang itu menjawab, ‘Ahabbakal-ladzi ahbatani lahu (semoga mencintaimu pula (Allah) Yang karena-Nya kamu mencitaiku’.” (Hadits riwayat Ahmad)
c. Silaturahim
Allah swt. berfirman: “Dan
orang-orang yang menyambungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk
disambungkan, merasa takut kepada Rabb mereka dan merasa takut akan
buruknya penghitungan.” (Ar-Ra’d: 21)
Rasulullah
saw. memerintahkan kita untuk menjalin hubungan dengan orang yang
memutuskannya dengan kita. Rasulullah saw. juga bersabda, “Tidak akan
masuk surga orang yang memutuskan hubungan, yakni memutuskan hubungan
rahim (kekeluargaan).” (Muttafaq ‘alaih)
Selain
besar pahalanya, silaturahim juga mendatangkan banyak manfaat bagi
seorang dai. Misalnya, memahami kondisi mad’u. Dengan demikian, bisa
mengenali problem yang dihadapinya. Paling tidak dai dapat memberikan
empati kepadanya dan hal itu akan meringankan beban penderitaannya. Akan
lebih baik lagi bila ia bisa melakukan sesuatu yang konkret yang dapat
dirasakan oleh si mad’u.
d. Menebar Senyum
Menampilkan
wajah cerai dan senyum adalah amal shalih yang ringan untuk
dilaksanakan, tapi punya nilai mulia di sisi Allah dan pengaruh besar
pada manusia. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah engkau meremehkan
kebaikan sekecil apa pun, walaupun hanya bisa menemui saudaramu dengan
wajah ceria.” (Muslim). Sebab, “Senyummu di hadapan wajah saudaramu
adalah shadaqah.” (Ibnu Hibban)
e. Jauhi kesombongan
Seorang yang sedang mengkampanyekan kebajikan boleh saja menampilkan hal-hal baik yang pernah dilakukannya, sebagai upaya tahadduts binni’mah (menceritakan kenikmatan). Akan tetapi, ia harus berupaya untuk menjauhi riya dan kesombongan.
Qatadah
mengatakan, “Siapa yang diberi harta, atau ketampanan (kecantikan),
atau pakaian, atau ilmu kemudian tidak bersikap tawadhu’ maka semua itu
akan menjadi kebinasaan bagi dirinya pada hari kiamat.”
f. Hati-hati dalam berjanji.
Membuat
janji secara akurat dan tidak mengobralnya. Melanggar janji akan
membuat Allah marah dan menyebabkan manusia kecewa serta kehilangan
kepercayaan. Oleh karena itu agar kita termasuk orang yang melanggar
janji, membuat janji secara cermat dan akurat adalah pilihan yang tepat.
Daripada mengumbar janji, lebih
produktif menampilkan bukti-bukti. Jangan sampai kita terjebak untuk
menyaingi atau mengimbangi janji-janji para penyeru kebusukan dengan
janji busuk serupa.
Keseriusan
dalam memperbaiki keadaan umat dapat dilihat dari sejauh mana para dai
dalam menerapkan nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupannya. Memang
untuk konsisten dalam kebenaran memerlukan stamina ekstra. Karena,
penegak nilai-nilai kebenaran dan keadilan akan selalu berhadapan dengan
pemelihara kezhaliman. Orang yang berusaha hidup bersih dari korupsi
akan berhadapan langsung dengan orang yang membangun kejayaan dengan
korupsi. Allahu a’lam.

Post a Comment