Breaking The Silence, Serdadu Israel Akui Sering Tembak Warga Sipil Palestina
Bukti Israel sengaja menyasar warga sipil, dengan harapan membunuh
sebanyak mungkin rakyat Palestina, dalam Perang 50 Hari tahun lalu
ditemukan.
Sejumlah tentara yang bertugas di Jalur Gaza, yang memberi kesaksian dan ditulis dalam dokumen Breaking The Silence, mengatakan mereka menerima perintah menembak atau membunuh setiap orang yang mereka lihat di sektor tempur. Setiap tentara Israel harus percaya bahwa wilayah yang mereka tembak telah bebas dari warga sipil.
Kenyataannya, ketika tentara Israel memasuki wilayah yang dihujani artileri dan dibom jet-jet tempur Israel, yang mereka temukan adalah warga sipil yang tewas dan terluka.
Breaking The Silence adalah organisasi yang didirikan tentara dan veteran peran Israel. Kelompok ini ingin memastikan anggota yang terlibat perang benar-benar melawan serdadu Palestina, bukan warga sipil.
Dalam banyak kasus, menurut Breaking The Silence, penembakan artileri tidak dimaksudkan untuk membantu tentara di lapangan, tapi untuk kepentingan politik dan diplomasi.
Kelompok ini menghimpun kesaksian 70 tentara, dari yang berpangkat sersan sampai letnan dan perwira. Mereka terdiri dari serdadu angkatan darat, laut, dan pilot pesawat tempur, yang bertugas selama Perang 50 Hari di Gaza yang oleh Israel disebut Operation Protective Edge.
Sejumlah veteran perang yang tergabung dalam Breaking The Silence mengatakan terkejut dengan kesaksian yang mereka dengar.
"Tanyakan kepada tentara yang terlibat dalam Operation Protective Edge apakah ada aturan keterlibatan sebelum memasuki wilayah paling padat penduduk di dunia. Mereka mengatakan tidak ada," ujar Avihai Stollar, direktur penelitian dan pengumpulan kesaksian Breaking The Silence.
"Serdadu hanya diberi tahu harus menembak siapa pun yang mereka lihat di wilayah yang mereka masuki," lanjutnya.
Menurut Stollar, Israel menerapkan dua doktrin tempur; Dahiyeh Doctrine dan Hannibal Directive. Keduanya paling menghancurkan warga Jalur Gaza.
sumber : suaranews
Sejumlah tentara yang bertugas di Jalur Gaza, yang memberi kesaksian dan ditulis dalam dokumen Breaking The Silence, mengatakan mereka menerima perintah menembak atau membunuh setiap orang yang mereka lihat di sektor tempur. Setiap tentara Israel harus percaya bahwa wilayah yang mereka tembak telah bebas dari warga sipil.
Kenyataannya, ketika tentara Israel memasuki wilayah yang dihujani artileri dan dibom jet-jet tempur Israel, yang mereka temukan adalah warga sipil yang tewas dan terluka.
Breaking The Silence adalah organisasi yang didirikan tentara dan veteran peran Israel. Kelompok ini ingin memastikan anggota yang terlibat perang benar-benar melawan serdadu Palestina, bukan warga sipil.
Dalam banyak kasus, menurut Breaking The Silence, penembakan artileri tidak dimaksudkan untuk membantu tentara di lapangan, tapi untuk kepentingan politik dan diplomasi.
Kelompok ini menghimpun kesaksian 70 tentara, dari yang berpangkat sersan sampai letnan dan perwira. Mereka terdiri dari serdadu angkatan darat, laut, dan pilot pesawat tempur, yang bertugas selama Perang 50 Hari di Gaza yang oleh Israel disebut Operation Protective Edge.
Sejumlah veteran perang yang tergabung dalam Breaking The Silence mengatakan terkejut dengan kesaksian yang mereka dengar.
"Tanyakan kepada tentara yang terlibat dalam Operation Protective Edge apakah ada aturan keterlibatan sebelum memasuki wilayah paling padat penduduk di dunia. Mereka mengatakan tidak ada," ujar Avihai Stollar, direktur penelitian dan pengumpulan kesaksian Breaking The Silence.
"Serdadu hanya diberi tahu harus menembak siapa pun yang mereka lihat di wilayah yang mereka masuki," lanjutnya.
Menurut Stollar, Israel menerapkan dua doktrin tempur; Dahiyeh Doctrine dan Hannibal Directive. Keduanya paling menghancurkan warga Jalur Gaza.
sumber : suaranews
Post a Comment