Santawi, Sosok Kiai dan Pejuang Bondowoso
Melintas jalanan Bondowoso, terdapat nama jalan yang berbeda dengan daerah lain Jl Santawi. Jalan itu berada di bundaran Nangkaan ke arah Situbondo. Lalu siapakah sosok Santawi sebenarnya?
Orang yang melintas jalan tersebut pun, lebih mengenal jalan itu adalah jalan partai. Karena banyak berjajar kantor partai politik. Bahkan lebih mengejutkan, pelintas jalan tersebut tidak tahu Santawi itu siapa.
Bergesar sedikit ke Prajekan, nama Santawi sangat melekat oleh masyarakat di kawasan tersebut. Bahkan setiap Agustus setahun sekali terdapat acara mengenang Santawi. Santawi adalah tokoh agamis sekaligus pejuang dari Prajekan pada agresi militer Belanda I dan II.
Rupanya rasa penasaran terhadap Santawi itu juga dirasakan Marsudin, pelestari Bahasa Madura asal Desa Walidono, Prajekan. Tapi bukan beberapa tahun belakang penasaran dia timbul, yakni 1987 lalu. "Penasaran saya terhadap Santawi, karena dibuat nama jalan. Siapa itu sebenarnya Santawi," ucapnya.
Dia pun mencoba bertemu tokoh di Prajekan bernama Mukaram. Mukaram adalah sosok tentara yang mengenal betul pertempuran 1947-1988. "Saya masih ingat betul, pagi hari saya ke rumah Pak Mukaram dan beliau mengatakan kamu dari mana, kok tanya Santawi," ucap Marsudin yang kala itu sebagai kepala SDN Walidono.
Sosok pahlawan Santawi sebenarnya adalah Sadrian. Mempunyai dua anak, anak pertama Santawi dan kedua Subari. "Nama Santawi melekat pada Sadrian, karena tradisi orang Madura, nama anaknya menjadi nama panggilannya," jelasnya.
Sosok pahlawan ini, sebetulnya adalah agamis, yakni seorang guru mengaji. Berhubung mempunyai jiwa nasionalisme, Santawi pun memilih berjuang saat kabar Belanda hendak menuju Bondowoso. Dan, meninggalkan santrinya yang begitu banyak meliputi Klabang, Botolinggo, Prajekan, dan Cermee.
Santawi sebagai peminpin Hisbullah Prajekan dan menjadi garda terdepan bersama tentara Indonesia. Menyiapkan rencana menghancurkan jembatan widuri, pengubung utama Situbondo - Bondowoso di pagi buta. Pukul 03.30 pagi, rencana itu gagal. Tentara Belanda berserta tank sudah terlebih dahulu masuk jembatan widuri.
Tapi Santawi berserta pejuang lainya, terus melawan untuk membendung tentara Belanda agar tidak masuk ke Prajekan. Akhirnya Santawai mulai terdesak dan memutuskan mundur untuk berlindung. "Lari dari Gayam ke Lanas sekarang Botolinggo lokasi itu," ujarnya
Dengan memakai perang gerilya, setiap malam santawi melakukan perlawan sedikit demi sedikit. Tapi amunisi persentajaan sudah mulai habis. Santawi pun kembali kerumahnya untuk mengambil amunisi. "Lha saat turun itu, Santawi bertemu dengan pak Mukaram" paparnya.
Malapetaka pun terjadi oleh Santawi saat masuk kerumahnya yang dulunya di Gang Pandean. "Santawi dibuntuti dan ditangkap di rumahnya," terangnya. Esok paginya Santawi dikirim ke penjara Bondowoso yang saat ini berada di Alun-alun. Pesan Santawi terhadap anak buahnya adalah lanjutkan perjuangan.
Minimnya literasi sejarah tentang Kiai Santawi membuat pemerintah Bondowoso tergelitik untuk menapaktilasi kepahlawanannya. Tak tanggung-tanggung, kegiatan napak tilas dipimpin langsung oleh Bupati Bondowoso Amin Said Husni. Amin pernah mendatangi kediaman KH Basuki Abdullah, putra Kiai Santawi yang kini tinggal di Jalan Suwandak, tepatnya di depan SD Jogotrunan I Lumajang.
Dari Basuki itulah, terkuak bagaimana sosok Kiai Santawi mengorbankan jiwa dan raga untuk tanah air tercintanya. Bahkan setelah ditangkap dan dijebloskan ke penjara, Kiai Santawi pada tahun 1948 akhirnya diekskusi mati oleh Tentara Belanda. Kini, jasadnya bersemayam di tanah kelahirannya, Desa Prajekan Lor Kecamatan Prajekan.
Berdasarkan surat keterangan resmi dari dr H Koesnadi, Sadriyan atau Kiai Santawi memang terlahir di Desa Prajekan Lor Kecamatan Prajekan. Dalam keterangan tersebut, tak tercatat tanggal, bulan dan tahun kelahirannya. "Santawi itu sebenarnya nama saya," ujar Basuki Abdullah. Namun setelah kelahiran Basuki Abdullah itulah, Sadriyan akhirnya lebih dikenal dengan nama Pak atau Kiai Santawi.
Saat agresi militer Belanda jilid II, Kiai Santawi dipercaya sebagai pimpinan pasukan Hizbullah/Sabilillah anak cabang Prajekan. Sebagai tokoh kala itu, Kiai Santawi pun terlibat dalam berbagai perang gerilya menghadapi penjajah Belanda. Perang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sesekali dari desa itu dia bersama pasukannya menyerbu pos Belanda di kota.
Kekuatan persenjataan pasukan gerilya memang kalah jauh. Namun Kiai Santawi tetap memiliki nyali tinggi. Suatu ketika, rumah Kiai Santawi dijadikan tempat penimbunan senjata olah para pasukan gerilya. Kepemimpinan Kiai Santawi yang berani itu membuat kontak senjata seringkali terjadi di kawasan Bondowoso.
Keterlibatan Kiai Santawi dalam perjuangan itu lambat laun terendus oleh militer Belanda. Berbagai cara pun dilakukan. Salah satunya adalah adu domba dan menyebarkan fitnah. Kiai Santawi yang sehari-hari mengajar kitab kuning kepada beberapa santri itu pun diadu domba dengan pengikutnya sendiri.
Politik adu domba sedikit banyak berhasil. Namun Kiai Santawi tetap konsisten dalam mengawal perjuangan rakyat untuk lepas dari belenggu penjajah. Belanda yang tak tahan akhirnya menangkap Santawi. "Waktu itu bapak saya dijemput oleh seorang Wedana. Si Wedana itu bilang kalau bapak saya akan diajak berembuk," kenang Basuki yang waktu itu berusia sekitar 18 tahun.
Namun Kiai Santawi ternyata dibawa untuk dipenjara. Mulanya dia dipenjara di markas belanda di PG Prajekan. Setelah beberapa hari, dia akhirnya dipindahkan ke penjara. Basuki yang beberapa kali menjenguk ayahnya itu pun merasa tak tega. Saat di penjara, rantai tak pernah lepas dari tangan dan kaki Kiai Santawi. Raut wajah Basuki menyiratkan rasa marah saat mengenang kejadian itu.
Saat di Penjara, Kiai Santawi sempat menjalani proses peradilan. Pada putusan pertama, Kiai Santawi divonis hukuman mati. Keluarganya tak terima. Banding pun dilakukan. Namun nasib tak berpihak. Saat putusan kedua, Santawi akhirnya dihukum mati. "Saat dihukum mati, ayah saya minta agar ditembak oleh 40 pasukan Belanda," kenang Basuki.
Usai peluru Belanda menembus tubuhnya, Kiai Santawi tak langsung meninggal. Dia sempat meminta air minum. Kiai Santawi berkata kepada para penjaga penjara bahwa kesegaran air minum itu untuk keluarga dan anak-anaknya. Dari sipir-sipir penjara itu pulalah, menyeruak kabar tentang kematian Kiai Santawi yang diselimuti wangi bunga.
Kematian Kiai Santawi pun menyebar kepada keluarga dan para pengikutnya. "Waktu itu keluarga diminta agar menjelaskan kepada pengikut bahwa kematian bapak disebabkan karena penyakit," ujar Basuki. Namun kabar bahwa Kiai Santawi meninggal karena dieksekusi terlanjur didengar pengikutnya. Mereka tak terima. Puluhan pejuang angkat senjata. Mereka menyerang pos-pos militer Belanda. Perang pun pecah. Perjuangan itu terus membuncah meski pemimpin mereka dieksekusi oleh militer Belanda.
Setelah sempat dimakamkan di pemakaman umum di belakang kantor polsek kota Bondowoso, setahun kemudian keluarga Kiai Santawi memindahkan makamnya ke Prajekan. Tepat di samping makam Nyai Suha, ibunda Kiai Santawi. "Saya hanya berharap agar nama jalan Santawi ditambahi dengan "Kiai Santawi," pinta Abdullah.
InfoBondowoso.net - Radar Ijen, 30/03/15 -
Orang yang melintas jalan tersebut pun, lebih mengenal jalan itu adalah jalan partai. Karena banyak berjajar kantor partai politik. Bahkan lebih mengejutkan, pelintas jalan tersebut tidak tahu Santawi itu siapa.
Bergesar sedikit ke Prajekan, nama Santawi sangat melekat oleh masyarakat di kawasan tersebut. Bahkan setiap Agustus setahun sekali terdapat acara mengenang Santawi. Santawi adalah tokoh agamis sekaligus pejuang dari Prajekan pada agresi militer Belanda I dan II.
Rupanya rasa penasaran terhadap Santawi itu juga dirasakan Marsudin, pelestari Bahasa Madura asal Desa Walidono, Prajekan. Tapi bukan beberapa tahun belakang penasaran dia timbul, yakni 1987 lalu. "Penasaran saya terhadap Santawi, karena dibuat nama jalan. Siapa itu sebenarnya Santawi," ucapnya.
Dia pun mencoba bertemu tokoh di Prajekan bernama Mukaram. Mukaram adalah sosok tentara yang mengenal betul pertempuran 1947-1988. "Saya masih ingat betul, pagi hari saya ke rumah Pak Mukaram dan beliau mengatakan kamu dari mana, kok tanya Santawi," ucap Marsudin yang kala itu sebagai kepala SDN Walidono.
Sosok pahlawan Santawi sebenarnya adalah Sadrian. Mempunyai dua anak, anak pertama Santawi dan kedua Subari. "Nama Santawi melekat pada Sadrian, karena tradisi orang Madura, nama anaknya menjadi nama panggilannya," jelasnya.
Sosok pahlawan ini, sebetulnya adalah agamis, yakni seorang guru mengaji. Berhubung mempunyai jiwa nasionalisme, Santawi pun memilih berjuang saat kabar Belanda hendak menuju Bondowoso. Dan, meninggalkan santrinya yang begitu banyak meliputi Klabang, Botolinggo, Prajekan, dan Cermee.
Santawi sebagai peminpin Hisbullah Prajekan dan menjadi garda terdepan bersama tentara Indonesia. Menyiapkan rencana menghancurkan jembatan widuri, pengubung utama Situbondo - Bondowoso di pagi buta. Pukul 03.30 pagi, rencana itu gagal. Tentara Belanda berserta tank sudah terlebih dahulu masuk jembatan widuri.
Tapi Santawi berserta pejuang lainya, terus melawan untuk membendung tentara Belanda agar tidak masuk ke Prajekan. Akhirnya Santawai mulai terdesak dan memutuskan mundur untuk berlindung. "Lari dari Gayam ke Lanas sekarang Botolinggo lokasi itu," ujarnya
Dengan memakai perang gerilya, setiap malam santawi melakukan perlawan sedikit demi sedikit. Tapi amunisi persentajaan sudah mulai habis. Santawi pun kembali kerumahnya untuk mengambil amunisi. "Lha saat turun itu, Santawi bertemu dengan pak Mukaram" paparnya.
Malapetaka pun terjadi oleh Santawi saat masuk kerumahnya yang dulunya di Gang Pandean. "Santawi dibuntuti dan ditangkap di rumahnya," terangnya. Esok paginya Santawi dikirim ke penjara Bondowoso yang saat ini berada di Alun-alun. Pesan Santawi terhadap anak buahnya adalah lanjutkan perjuangan.
Minimnya literasi sejarah tentang Kiai Santawi membuat pemerintah Bondowoso tergelitik untuk menapaktilasi kepahlawanannya. Tak tanggung-tanggung, kegiatan napak tilas dipimpin langsung oleh Bupati Bondowoso Amin Said Husni. Amin pernah mendatangi kediaman KH Basuki Abdullah, putra Kiai Santawi yang kini tinggal di Jalan Suwandak, tepatnya di depan SD Jogotrunan I Lumajang.
Dari Basuki itulah, terkuak bagaimana sosok Kiai Santawi mengorbankan jiwa dan raga untuk tanah air tercintanya. Bahkan setelah ditangkap dan dijebloskan ke penjara, Kiai Santawi pada tahun 1948 akhirnya diekskusi mati oleh Tentara Belanda. Kini, jasadnya bersemayam di tanah kelahirannya, Desa Prajekan Lor Kecamatan Prajekan.
Berdasarkan surat keterangan resmi dari dr H Koesnadi, Sadriyan atau Kiai Santawi memang terlahir di Desa Prajekan Lor Kecamatan Prajekan. Dalam keterangan tersebut, tak tercatat tanggal, bulan dan tahun kelahirannya. "Santawi itu sebenarnya nama saya," ujar Basuki Abdullah. Namun setelah kelahiran Basuki Abdullah itulah, Sadriyan akhirnya lebih dikenal dengan nama Pak atau Kiai Santawi.
Saat agresi militer Belanda jilid II, Kiai Santawi dipercaya sebagai pimpinan pasukan Hizbullah/Sabilillah anak cabang Prajekan. Sebagai tokoh kala itu, Kiai Santawi pun terlibat dalam berbagai perang gerilya menghadapi penjajah Belanda. Perang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sesekali dari desa itu dia bersama pasukannya menyerbu pos Belanda di kota.
Kekuatan persenjataan pasukan gerilya memang kalah jauh. Namun Kiai Santawi tetap memiliki nyali tinggi. Suatu ketika, rumah Kiai Santawi dijadikan tempat penimbunan senjata olah para pasukan gerilya. Kepemimpinan Kiai Santawi yang berani itu membuat kontak senjata seringkali terjadi di kawasan Bondowoso.
Keterlibatan Kiai Santawi dalam perjuangan itu lambat laun terendus oleh militer Belanda. Berbagai cara pun dilakukan. Salah satunya adalah adu domba dan menyebarkan fitnah. Kiai Santawi yang sehari-hari mengajar kitab kuning kepada beberapa santri itu pun diadu domba dengan pengikutnya sendiri.
Politik adu domba sedikit banyak berhasil. Namun Kiai Santawi tetap konsisten dalam mengawal perjuangan rakyat untuk lepas dari belenggu penjajah. Belanda yang tak tahan akhirnya menangkap Santawi. "Waktu itu bapak saya dijemput oleh seorang Wedana. Si Wedana itu bilang kalau bapak saya akan diajak berembuk," kenang Basuki yang waktu itu berusia sekitar 18 tahun.
Namun Kiai Santawi ternyata dibawa untuk dipenjara. Mulanya dia dipenjara di markas belanda di PG Prajekan. Setelah beberapa hari, dia akhirnya dipindahkan ke penjara. Basuki yang beberapa kali menjenguk ayahnya itu pun merasa tak tega. Saat di penjara, rantai tak pernah lepas dari tangan dan kaki Kiai Santawi. Raut wajah Basuki menyiratkan rasa marah saat mengenang kejadian itu.
Saat di Penjara, Kiai Santawi sempat menjalani proses peradilan. Pada putusan pertama, Kiai Santawi divonis hukuman mati. Keluarganya tak terima. Banding pun dilakukan. Namun nasib tak berpihak. Saat putusan kedua, Santawi akhirnya dihukum mati. "Saat dihukum mati, ayah saya minta agar ditembak oleh 40 pasukan Belanda," kenang Basuki.
Usai peluru Belanda menembus tubuhnya, Kiai Santawi tak langsung meninggal. Dia sempat meminta air minum. Kiai Santawi berkata kepada para penjaga penjara bahwa kesegaran air minum itu untuk keluarga dan anak-anaknya. Dari sipir-sipir penjara itu pulalah, menyeruak kabar tentang kematian Kiai Santawi yang diselimuti wangi bunga.
Kematian Kiai Santawi pun menyebar kepada keluarga dan para pengikutnya. "Waktu itu keluarga diminta agar menjelaskan kepada pengikut bahwa kematian bapak disebabkan karena penyakit," ujar Basuki. Namun kabar bahwa Kiai Santawi meninggal karena dieksekusi terlanjur didengar pengikutnya. Mereka tak terima. Puluhan pejuang angkat senjata. Mereka menyerang pos-pos militer Belanda. Perang pun pecah. Perjuangan itu terus membuncah meski pemimpin mereka dieksekusi oleh militer Belanda.
Setelah sempat dimakamkan di pemakaman umum di belakang kantor polsek kota Bondowoso, setahun kemudian keluarga Kiai Santawi memindahkan makamnya ke Prajekan. Tepat di samping makam Nyai Suha, ibunda Kiai Santawi. "Saya hanya berharap agar nama jalan Santawi ditambahi dengan "Kiai Santawi," pinta Abdullah.
InfoBondowoso.net - Radar Ijen, 30/03/15 -
Post a Comment