Pemuda dan Bangsa Hari Ini
Tidak hanya ide-ide liberal yang merusak sendi-sendi dasar Islam,
tapi juga pengaruh negatif budaya, ekonomi, sosial, politik yang
ditawarkan sistem demokrasi liberal. Begitu kuatnya gelombang informasi
melalui media-media juga menambah kesumpekan kehidupan masyarakat muslim
di Indonesia. Budaya populer yang hedonistik dan konsumtif merajalela
di setiap perilaku orang-orang Indonesia.
Ditambah perilaku media massa yang ikut menampilkan sosok-sosok panutan yang mewakili gaya hidup hedonis dan konsumtif. Atas nama keuntungan materi, konser-konser musik yang
menghabiskan miliaran rupiah pun digelar. Ini adalah cara efektif mengubah perilaku masyarakat dengan pemberian label moderen. Pendefinisian moderen pun menjadi tidak jelas. Moderen diartikan sebagai jika tidak mengikuti gaya rambut artis anu, maka tidak moderen. Jika tidak mengikuti gaya baju penyanyi anu, maka tidak moderen.
Selain itu, pornografi dan minuman keras yang semakin mudah didapat dan kian merusak alam pikir generasi muda, juga bagian dari efek negatif globalisasi. Sialnya, para wakil rakyat di Parlemen justru mengumbar aksi pornografi di tengah-tengah masyarakat. Video-video porno orang-orang terhormat itu juga tidak lepas dari perilaku politik Machiavelisme. Sangat mudah diterka jika penyebaran video cabul tersebut tidak lepas dari intrik politik untuk menjatuhkan seseorang.
Benturan budaya dan perilaku sosial ini yang menjadi pemicu aksi-aksi jalanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok umat Islam. Sementara negara merasa tidak perlu mengatasi masalah ini, karena berangkat dari filsafat liberalisme yang individualistik. Filsafat liberalisme mengajarkan bahwa individu manusia adalah bebas maka tidak perlu ada campur tangan negara. Makna bebas pun ditafsirkan secara serampangan, dan bertabrakan dengan hakikat yang menyatakan bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Dari segi politik dan hukum, negara lebih disibukkan dengan kasus-kasus korupsi yang dilakukan para penyelenggaranya. Sementara, masyarakat hanya bisa terhenyak menyaksikan perilaku mereka melalui media-media massa. Sejak awal reformasi, kita menyaksikan gerakan masyarakat di Indonesia terjadi begitu mudah. Pemicunya begitu beragam, namun bisa disimpulkan inti dari gerakan massa adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap sesuatu.
Teori kesempatan politik terbuka ini membutuhkan banyak faktor, selain tentunya dukungan dari pemerintah. Faktor tersebut adalah mobilisasi struktur. Teori mobilisasi struktur ini menjelaskan bahwa gerakan sosial membutuhkan lembaga atau organisasi yang dapat dimobilisasi. Teori ini menekankan jika aktor mampu memobilisasi struktur organisasi maka gerakan sosial akan dianggap sukses. Bahkan, kelompok-kelompok minoritas mampu menguasai kelompok mayoritas karena adanya kekuatan-kekuatan modal. Istilah tirani minoritas menjadi adagium yang pas untuk menggambarkan kondisi sosial di Indonesia saat ini.
Kehadiran negara pun nihil ketika berhadapan dengan kepentingan dan suara-suara umat Islam. Tidak berlebihan jika mengatakan umat Islam tertindas, sementara negara berupaya meninabobokan mereka melalui pemikiran-pemikiran berbeda berbalut kajian limiah. Salah satu contohnya adalah dengan gencarnya pembuatan kurikulum pendidikan yang dirasuki pemikiran sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Kondisi demikian tentunya menambah parah hubungan sosial muslim dengam muslim atau muslim dengan negara.
Inilah sebenarnya mengapa begitu sulitnya melawan kelompok-kelompok liberal karena mereka sudah masuk dalam level penyelenggara negara. Tentunya hal ini seiring berjalan dengan kuatnya dominasi barat atas Islam di berbagai belahan bumi ini. Secara teoritis, gerakan sosial dianggap sukses jika para pelopornya mampu menekankan pentingnya innovatice collective action.
Inovasi aksi kolektif adalah pilihan-pilihan strategi aksi dalam mencapai tujuan gerakan sosial. Ada dua strategi besar dalam inovasi ini, yakni pertama, apakah agent atau aktor akan mempergunakan cara-cara kekerasan atau yang kedua aktor-aktor gerakan sosial mempergunakan di luar cara-cara kekerasan. Masyarakat pun semakin cerdas membaca perkembangan.
Lalu bagaimanakan peran kita sebagai pemuda muslim yang menjadi saksi atas Negara yang mulai tertindas perlahan karena perilaku bangsanya sendiri???. Dimanakah pemuda islam yang didambakan sebagai agen perubahan ?? Dimanakah keberanian kita sebagai pemuda yang masih terlelap dengan keadaan negaranya yang sudah mulai jauh dari nilai-nilai moral??
Dimanakah para pemuda yang sennatiasa menjadi garda terdepan layaknya para pemuda palestina yang berlomba-lomba berada di barisan depan setiap mereka berhadapan dengan para zionis… hanya pemuda-pemuda terbaiklah yang mampu berada di barisan paling depan..mereka adalah ” Yang terbaik penguasaan senjatanya, terbaik fisiknya, terbaik kondisi ruhiyahnya…”
“Yang ada di garis terdepan ini hanya para pemuda yang hafal Quran 30 juz, bertahun-tahun terbukti solat berjamaah di masjid terutama subuh..”
“Yang selalu bangun shalat tahajjud”. “Yang paling jauh dari maksiat dan yang paling menjalankan sunnah”. Karena Kualitas Ruhiyah yang Mutlak inilah mereka mampu menghadapi para zionis dan syahid dijalanNya. Lalu Bagaimanakah Kita ???
Yah..pertanyaan itu hanya diri kita yang bisa menjawab ..Apakah kita termasuk yang mengaku pemuda? Apakah kita termasuk yang terus senantiasa menjadi pemuda yang berada di barisan terdepan dalam menegakkan yang kebenaran diruang ketidakadilan dan kezhaliman?.. yang senantiasa, menjaga & meningkatkan kualitas ruhiyahnya agar senantiasa dicintai Robbnya? dan Apakah kita pemuda yang peduli dalam mengambil sikap atas apa yang terjadi dengan bangsanya sendiri kemarin, saat ini dan nanti….???
Apa yang kita dambakan selain memohon perlindungan, kekuatan dan pertolongan Allah. Juga perbaikan diri atas amanah kita sebagai khalifah dimuka bumi dan Pemuda di Negaranya sendiri??. Wallohu’alam bisshowab.(oleh : Siti Holidah Hanum/mantan kaput ldk Badaris cabang kramba)
Ditambah perilaku media massa yang ikut menampilkan sosok-sosok panutan yang mewakili gaya hidup hedonis dan konsumtif. Atas nama keuntungan materi, konser-konser musik yang
menghabiskan miliaran rupiah pun digelar. Ini adalah cara efektif mengubah perilaku masyarakat dengan pemberian label moderen. Pendefinisian moderen pun menjadi tidak jelas. Moderen diartikan sebagai jika tidak mengikuti gaya rambut artis anu, maka tidak moderen. Jika tidak mengikuti gaya baju penyanyi anu, maka tidak moderen.
Selain itu, pornografi dan minuman keras yang semakin mudah didapat dan kian merusak alam pikir generasi muda, juga bagian dari efek negatif globalisasi. Sialnya, para wakil rakyat di Parlemen justru mengumbar aksi pornografi di tengah-tengah masyarakat. Video-video porno orang-orang terhormat itu juga tidak lepas dari perilaku politik Machiavelisme. Sangat mudah diterka jika penyebaran video cabul tersebut tidak lepas dari intrik politik untuk menjatuhkan seseorang.
Benturan budaya dan perilaku sosial ini yang menjadi pemicu aksi-aksi jalanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok umat Islam. Sementara negara merasa tidak perlu mengatasi masalah ini, karena berangkat dari filsafat liberalisme yang individualistik. Filsafat liberalisme mengajarkan bahwa individu manusia adalah bebas maka tidak perlu ada campur tangan negara. Makna bebas pun ditafsirkan secara serampangan, dan bertabrakan dengan hakikat yang menyatakan bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Dari segi politik dan hukum, negara lebih disibukkan dengan kasus-kasus korupsi yang dilakukan para penyelenggaranya. Sementara, masyarakat hanya bisa terhenyak menyaksikan perilaku mereka melalui media-media massa. Sejak awal reformasi, kita menyaksikan gerakan masyarakat di Indonesia terjadi begitu mudah. Pemicunya begitu beragam, namun bisa disimpulkan inti dari gerakan massa adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap sesuatu.
Teori kesempatan politik terbuka ini membutuhkan banyak faktor, selain tentunya dukungan dari pemerintah. Faktor tersebut adalah mobilisasi struktur. Teori mobilisasi struktur ini menjelaskan bahwa gerakan sosial membutuhkan lembaga atau organisasi yang dapat dimobilisasi. Teori ini menekankan jika aktor mampu memobilisasi struktur organisasi maka gerakan sosial akan dianggap sukses. Bahkan, kelompok-kelompok minoritas mampu menguasai kelompok mayoritas karena adanya kekuatan-kekuatan modal. Istilah tirani minoritas menjadi adagium yang pas untuk menggambarkan kondisi sosial di Indonesia saat ini.
Kehadiran negara pun nihil ketika berhadapan dengan kepentingan dan suara-suara umat Islam. Tidak berlebihan jika mengatakan umat Islam tertindas, sementara negara berupaya meninabobokan mereka melalui pemikiran-pemikiran berbeda berbalut kajian limiah. Salah satu contohnya adalah dengan gencarnya pembuatan kurikulum pendidikan yang dirasuki pemikiran sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Kondisi demikian tentunya menambah parah hubungan sosial muslim dengam muslim atau muslim dengan negara.
Inilah sebenarnya mengapa begitu sulitnya melawan kelompok-kelompok liberal karena mereka sudah masuk dalam level penyelenggara negara. Tentunya hal ini seiring berjalan dengan kuatnya dominasi barat atas Islam di berbagai belahan bumi ini. Secara teoritis, gerakan sosial dianggap sukses jika para pelopornya mampu menekankan pentingnya innovatice collective action.
Inovasi aksi kolektif adalah pilihan-pilihan strategi aksi dalam mencapai tujuan gerakan sosial. Ada dua strategi besar dalam inovasi ini, yakni pertama, apakah agent atau aktor akan mempergunakan cara-cara kekerasan atau yang kedua aktor-aktor gerakan sosial mempergunakan di luar cara-cara kekerasan. Masyarakat pun semakin cerdas membaca perkembangan.
Lalu bagaimanakan peran kita sebagai pemuda muslim yang menjadi saksi atas Negara yang mulai tertindas perlahan karena perilaku bangsanya sendiri???. Dimanakah pemuda islam yang didambakan sebagai agen perubahan ?? Dimanakah keberanian kita sebagai pemuda yang masih terlelap dengan keadaan negaranya yang sudah mulai jauh dari nilai-nilai moral??
Dimanakah para pemuda yang sennatiasa menjadi garda terdepan layaknya para pemuda palestina yang berlomba-lomba berada di barisan depan setiap mereka berhadapan dengan para zionis… hanya pemuda-pemuda terbaiklah yang mampu berada di barisan paling depan..mereka adalah ” Yang terbaik penguasaan senjatanya, terbaik fisiknya, terbaik kondisi ruhiyahnya…”
“Yang ada di garis terdepan ini hanya para pemuda yang hafal Quran 30 juz, bertahun-tahun terbukti solat berjamaah di masjid terutama subuh..”
“Yang selalu bangun shalat tahajjud”. “Yang paling jauh dari maksiat dan yang paling menjalankan sunnah”. Karena Kualitas Ruhiyah yang Mutlak inilah mereka mampu menghadapi para zionis dan syahid dijalanNya. Lalu Bagaimanakah Kita ???
Yah..pertanyaan itu hanya diri kita yang bisa menjawab ..Apakah kita termasuk yang mengaku pemuda? Apakah kita termasuk yang terus senantiasa menjadi pemuda yang berada di barisan terdepan dalam menegakkan yang kebenaran diruang ketidakadilan dan kezhaliman?.. yang senantiasa, menjaga & meningkatkan kualitas ruhiyahnya agar senantiasa dicintai Robbnya? dan Apakah kita pemuda yang peduli dalam mengambil sikap atas apa yang terjadi dengan bangsanya sendiri kemarin, saat ini dan nanti….???
Apa yang kita dambakan selain memohon perlindungan, kekuatan dan pertolongan Allah. Juga perbaikan diri atas amanah kita sebagai khalifah dimuka bumi dan Pemuda di Negaranya sendiri??. Wallohu’alam bisshowab.(oleh : Siti Holidah Hanum/mantan kaput ldk Badaris cabang kramba)
Post a Comment