Minimal Mirip Dian Sastro-lah...!
“afwan ya mbak, bukannya ana menolak. Tapi ana hanya bisa melanjutkan
proses bila ikhwan itu seorang dokter”. Begitulah kata seorang akhwat
kepada murobbiyahnya. Akhwat itu memang sedikit special. Wajahnya
menarik, bersih dan manis. Setidaknya beberapa orang mengakui kalimat
ini. Ditambah suara yang memikat setiap orang yang mendengarnya. Ini
jujur! Kalau ia meminta tolong kepada seorang ikhwan, niscaya ikhwan itu
pasti membantu. Tak soal tugas apapun itu, sampai-sampai tugas kuliah
pun dibantu, meski yang membantu bukan dari jurusan yang sama. Begitulah
penuturan murobbiyahnya yang mencatat fakta itu.
“menurut ana tugas
dokter itu mulia mbak, jadi alangkah baiknya jika ana bisa membantunya”.
Sekian kali akhwat tersebut menolak tawaran ikhwan yang datang hanya
karena kemuliaan profesi dokter. Padahal di antara ikhwan yang dating
ada profesi yang tak kalah mulia. Sebut saja seorang guru SDIT, karyawan
grafis di sebuah penerbitan Islam, seorang penulis, sampai seorang
karyawan di perusahaan listrik.
Beberapa waktu berselang, akhwat ini
mendapat berita yang menyesakkan dada. Teman satu halaqohnya menikah
dengan seorang dokter. Padahal temannya itu sama sekali tidak
mengharapkan seorang dokter seperti dia. Betapa teganya sang
murobbiyah!! Tawaran itu mengapa tidak diberikan kepadanya. Begitu
ditanya, sang murobbiyah hanya menjawab “ya ikhwan dokter itu tidak mau
sama dia, malah pilih temannya itu”. Akhwat itu mungkin lupa bahwa
menikah adalah keputusan dua orang. Kasihan, pungguk merindukan dokter!
Mirip Dian Sastro-lah
Seorang
ikhwan mengaku kewalahan menghadapi teman baiknya (seorang ikhwan
pula). Pasalnya, sudah sekian kali mencari calon akhwat untuk temannya
itu tapi masih belum ada satupun yang diminati. “gimana nih akh, sudah
20 biodata masih belum ada juga yang pas di hati antum”. Ujar ikhwan itu
agak kesal. “sabar akhi! Ana masih ingin mencari terus sampai ana dapat
yang ana mau”. Jawab temannya. “oke deh, sekarang antum maunya yang
kayak gimana?”. Ikhwan itu akhirnya pasrah. Temannya tersenyum lebar
sekali. Matanya menerawang membayangkan sesuatu. Lalu ia menatap ikhwan
itu dengan pandangan tajam dan berkata “ya, minimal mirip Dian
Sastro-lah!” Haaaahhh, tidak salah….. minimal! Ngaca dulu donk!
Beruntung ikhwan itu tidak bicara demikian. Ia hanya menggelengkan
kepala dan tertawa lepas mengdengar permintaan temannya itu. “eh, ketawa
lagi. Ini serius akhi!” temannya memprotes. Sang ikhwan malah makin
keras tertawa melihat muka temannya tambah serius.
Ada 25 juta? Silakan!
“tukang
cuci ana saja mengadakan pesta pernikahan anaknya sampai 10 juta.
Gimana ana?! Kalau ada 25 juta mungkin baru cukup”. Kalimat pertama.
“antum kayanya konyol kalau baru ada 10 juta tapi berani maju untuk
nikah”. Ini yang kedua. “antum jangan malas donk! Cari kerja sampingan”.
Ketiga. “kayanya antum pelit nih! Sekarang saja sikapnya begini.
Bagaimana kalau sudah menikah, nanti antum pelit sama orang tua ana”.
Ini keempat. “…….kelima……….” keenam.
Kalimat-kalimat itu bukan keluar
dari orang yang berbeda. Juga untuk orang yang berbeda pula. Tapi dari
satu orang untuk satu orang. Seorang akhwat kepada ikhwan calonnya. Sang
ikhwan hanya mampu bersabar sampai kalimat keempat. Ia tidak ingat
kalimat kelima, keenam dan seterusnya. Akhirnya ikhwan itu memutuskan
untuk tidak melanjutkan proses ke jenjang yang lebih lanjut. Ia takut
diburu ambisi, bias-bisa malah merampok untuk menikah. Kan, jadi lucu!
************
Itulah
sekelumit catatan kecil. Mudah-mudahan ini hanya setetes minyak di
samudera luas. Kumpulan perilaku yang semoga tidak mengotori kesucian
dakwah. Semoga ikhwah sekalian bisa menemukan kisah-kisah yang lebih
baik dari itu. Lalu menjadikannya bahan teladan bagi kehidupan kita.
Sejarah
dan catatan hidup orang-orang sholeh terhampar begitu banyak. Merekalah
contoh-contoh sejati. Tetapi sebagian kita masih saja berpikiran
kerdil, sempit dan egois. Bahkan mereka menjadikan sejarah untuk
mendukung ambisi pribadi. Memilih wanita hanya karena kecantikannya,
karena Rasulullah SAW memilih Aisyah RA yang cantik dan pintar. Memilih
calon hanya dari keturunannya dengan alas an Rasulullah SAW memilih
Zainab binti Zahsy yang bangsawan. Atau memilih pasangan hidup dari
kekayaannya melihat Nabi menikahi Khadijah yang kaya dan mapan.
Lalu
mengapa tidak mengambil pelajaran dari kisah Rasulullah saat memilih
Saudah binti Zam’ah? Wanita itu sama sekali tidak secantik dan secerdas
Aisyah, tidak sekaya Khadijah, dan bukan bangsawan seperti Zainab binti
Zahsy. Saudah bertubuh gemuk dan tidak sedap dipandang mata, berasal
dari keluarga sederhana, dan seorang janda. Tapi apa yang dilihat
Rasulullah dari Saudah? Beliau melihat pancaran pesona yang luar biasa.
Dahulu bersama suaminya Sakran bin Amr, Saudah rela hidup susah
meninggalkan Mekkah menuju negeri sebrang Habasyah. Saudah mampu
mengganti peran Khadijah dalam mendidik putra putri kandung Rasulullah
(Rasulullah hanya memiliki anak kandung dari Khadijah dan Mariyah
Qibthiyah). Rasulullah tidak bisa mengharapkan itu dari Aisyah yang
masih belum dewasa. Saudah bahkan rela menghadiahkan malam-malam
gilirannya kepada Aisyah, istri Rasulullah yang paling pencemburu.
Kini
tanyakan pada kenyataan saat ini. Adakah yang demikian? Apakah kisah
Saudah tidak cukup menjadi pelajaran per-sekufu-an (dalam menikah) bagi
kita?! Ah itu kan Nabi! Kalau diberikan contoh sahabat Rasulullah; ah
itu kan sahabat! Bila disodorkan contoh orang-orang sholeh; ah it kan
usdtadz! Dan bila diceritakan kisah teman-temannya sendiri; ah itu kan
dia!
Ah!! Dasar manusia!
Allahu’alam.
Al-Izzah
Post a Comment