Membangun Kluster Riset dalam Memperkuat Kebijakan Industri Nasional
Dr. Marsudi Budi Utomo
Ketua Departemen Teknologi Industri dan Energi
Bidang EkuintekLH DPP PKS
Kebijakan kluster industri menjadi
kecenderungan dalam perencanaan pertumbungan ekonomi dewasa ini.
Kebijakan seperti ini mewakili perpindahan dari program pengembangan
ekonomi cara tradisional menuju cara anyar. Kebijakan kluster industri
ini mengatur sedemikian rupa agar tumbuh hubungan timbal balik secara
langsung maupun tidak langsung antar industri-industri yang masuk ke
dalam kluster.
Kluster industri, dalam artian luas
mengandung hubungan horisontal dan vertikal antara industri-industri
baik yang lokasinya terpencar maupun yang terfokus di satu area indsutri
di Jawa Barat di Kabupaten Bekasi dan di Kabupaten Karawang. Akan
tetapi oleh sebagian besar peneliti menyebutkan bahwa kluster industri
lebih cenderung kepada konsentrasi industri saja sehingga menafikkan
hubungan fungsional antar industri dan hubungan dinamik dan saling
membutuhkan antar industri tersebut. (Doeringer and Terkla 1995,
Rosenfeld 1997).
Akan halnya kluster industri di
Indonesia, menurut pengamatan penulis, lebih pas dengan makna sempitnya.
Sehingga ini perlu diperluas lagi menjadi makna yang lebih lebar yang
bisa menumbuhkan link dan jaringan antar industri yang berhubungan
meskipun tidak di satu area industri. Termasuk sudah waktunya memperluas
jenisnya dengan kluster riset.
Pusat Riset Industri dan Kluster Riset
Di tahun 2015, Honda sanggup memproduksi
sepeda motor 4,45 juta unit per tahun dari total produksi nasional 6,48
juta unit. Sementara total volume produksi industri mobil Indonesia
mencapai 1.098.780 unit dan volume penjualan sebanyak 1.013.291 unit.
Dari data ini bisa diindikasikan bahwa keperluan lokal untuk pemenuhan
kedua produk tersebut juga tinggi, diharapkan 70% kandungan lokal. Di
sini perlunya inovasi teknologi yang berbasis riset untuk industri.
Sejauh ini, industri-industri besar baik
PMA maupun nasional kerap kali menjadikan Indonesia hanya sebagai pusat
produksi dengan pertimbangan pasar yang besar (250 juta jiwa) dan
tersedianya tenaga kerja fresh dengan skill yang cukup. Di sisi lain,
meskipun tidak dominan adalah UMR yang relatif murah dibandingkan dengan
negara lainnya.
Padahal, Indonesia sebagai pusat
produksi menjadikan perusahaan yang bersangkutan sanggup meraup
keuntungan besar. Sebagai upaya timbal balik dan kepercayaan kepada
pasar, maka sudah seharusnya industri-industri tersebut untuk turut juga
memikirkan kemajuan riset dan teknologi di Indonesia.
Ada dua hal yang yang bisa dipetik oleh
industri-industri tersebut untuk membangun research center di Indonesia.
Pertama, meningkatkan kepercayaan pasar nasional dan global (market capital),
termasuk pemerintah kedua negara, sehingga akan terbentuk sirkumstan
yang mendorong kebijakan yang mendukung kemajuan teknologi terkait
industri PMA tersebut.
Kedua, mendorong terbentuknya skilled
labor capital atau bahkan professional capital terkait industri dan
teknologi terkini, sehingga pada tataran nasional Indonesia akan
meningkatkan kemampuan produksi dengan QC – quality control – yang terdepan. QC ini adalah parameter global market atas suatu produk barang atau jasa.
Untuk ini, pemerintah sudah saatnya
mengeluarkan kebijakan baru yang mendorong terbentuknya kluster riset.
Hal itu bisa dimasukkan ke dalam cakupan RUU Sistem Inovasi Nasional
(SINAS) yang sedang digagas pemerintah, ataupun dimasukkan ke dalam RUU
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan. Bisa
juga, digagas bersama untuk khusus RUU Pengembangan Teknologi. Di satu
sisi, pihak industri tidak terbebani dengan penyediaan sarana pusat
riset, dan di sisi lain pemerintah bisa mengontrol kebijakan industri
dan teknologi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi dengan
menentukan prioritas riset dengan orientasi industri (industry oriented economics growth).

Post a Comment