Ustadz Sunnah dan Usdatdz Bid'ah Vs Kajian Sunah dan Kajian Bid'ah
Ustadz Sunnah dan Usdatdz Bid'ah Vs Kajian Sunah dan Kajian Bid'ah
by @salimafillah
Ada istilah yang baru-baru ini membuat dahi berkerenyit,
ketika sebagian penuntut ilmu membuat kategorisasi adanya "Ustadz
Sunnah" dan "Kajian Sunnah". Saya berfikir, jadi yang selain itu, ustadz
apa dan kajian apa?
Dua kemungkinan. Kalau "sunnah" di situ kebalikan dari
"bid'ah", maka berarti ada ustadz bid'ah dan kajian bid'ah. Atau kalau
"sunnah" di situ kebalikan dari "makruhah", berarti ada ustadz makruh
dan kajian makruh.
Betapa tak nyaman bagi yang terkena gelaran.
Tidak, saya tak hendak menyalahkan pembuat istilah. Mereka
yang bersemangat menuntut ilmu adalah orang-orang yang dimudahkan
jalannya ke surga. Betapa saya berharap menjadi bagian dari mereka,
walau mungkin hanya senilai anjing bagi Ashhabul Kahfi atau bahkan debu
yang menempel di kaki.
Tapi bersama itu, mohon izin saya ceritakan ulang kisah berikut ini.
“Suatu kali”, demikian dihikayatkan Imam Tajuddin As Subki
dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang perempuan mendatangi
majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di antara mereka
terdapatlah Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim,
dan banyak lagi yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits,
mentartibkan sanad-sanadnya, dan membilang keragaman matannya.”
Ketika mereka sedang saling berbagi hadits, tetiba
perempuan itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku adalah
seorang wanita yang bekerja sebagai tukang memandikan jenazah.
Bagaimanakah hukumnya untukku jika harus memandikan jenazah ketika aku
sedang dalam keadaan haidh?”
Semua ‘ulama besar yang hadir waktu itu tidak ada yang
mampu menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam
benak mereka, tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung untuk
menjawab persoalan itu.
Ketika majelis itu terjeda hening karena tetap tak ada
jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur, murid Imam Asy
Syafi'i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah
beliau sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut,
"Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid
dari pemilik akal separuh penduduk dunia."
Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam.
Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan dirinya, “Bolehkah
wanita haidh memandikan jenazah?”
Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada
masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn
Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Adapun haidhnya dirimu
bukanlah berada di tanganmu.” Dan juga berdasarkan perkataan Ibunda kita
‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala
Rasulullah dengan air lalu menyela-nyelai rambut beliau, menyisir, serta
meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”
“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”,
simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh
wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu
kebolehannya lebih jelas lagi.”
Mendengar jawaban yang sangat jeli itu, serta-merta para
ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang
telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau jalur
periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah
menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya
melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas derajat
berbagai macam riwayat hadits tersebut.
Melihat hal ini, si tukang memandikan jenazah berkata heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"
Kisah ini sama sekali bukan dalam rangka merendahkan
kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini hanya, gambaran
penting atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi'i. Beliau menyatakan
bahwa Ahli Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang khazanah
obat, melainkan juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits
adalah apotekernya.
Sudah seharusnya mereka bekerjasama, bukan saling menjauh
dan saling mengatakan bahwa yang satu tak paham obat, yang lain tak
mengerti pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih banyak membuat bid'ah,
padahal sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang shahih tapi
disesuaikan dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan tempat
tertentu. Atau mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal
mereka memang hanya memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.
Kalau yang dimaksud Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah adalah
para Ahli Hadits, pergi ke Apoteker memang menjadikan kita memperoleh
obat. Jawabannya terang dan pasti; sakit A maka obatnya X.
Tapi cobalah sesekali datang ke majelis Ahli Fiqih yang
mungkin tidak tampak sebagai Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah; barangkali
di sana kita akan berjumpa dokter yang akan memeriksa kesesuaian
kondisi badan kita dengan obat yang ada.
Post a Comment