Header Ads

ad

Murobi Hebat

Pada satu kesempatan liqo, seorang Murobi coba menguji pemahaman a’dhonya. Saat memberikan keynote speaking, ia tidak memanfaatkannya dengan memberi kultum atau tausiyah singkat. Tapi memberi pertanyaan singkat “Menurut Antum, apa kriteria seorang murobi dikatakan hebat dan teruji?”

Maka mulailah percakapan nan bermakna itu...

Seorang a’dho yang kerap menjadi motivator dan sudah melanglang buana ke berbagai tempat menjawab dengan ringkas: “Ketika mutarobi-mutarobi kita sudah bisa menjadi murobi. Ketika binaan kita bisa membina. Ini berarti proses regenerasi dakwah berjalan dengan baik”

Seorang a’dho yang auditor kemudian menjawab secara to the point: “Ketika mutarobi kita menghasilkan manfaat bagi dakwah dan kemanusiaan. Kita bisa melihat kualitas hasil pembinaan kita dari output-nya yaitu sejauh mana menghasilkan manfaat”

Seorang a’dho yang guru di sebuah sekolah Islam Terpadu menyusul memberi jawaban : “Ketika suasana liqo sangat kondusif, efektif dan produktif. Ketika murobi mampu menjadi Syaikh, orang tua, pemimpin, guru dan sahabat. Dimana semua peserta halaqah merindukan pertemuan. Ketika ukhuwah sebagai pilar-pilar halaqah terbangun dengan baik. Ketika semua baramij dilaksanakan dengan disiplin. Ketika halaqah menghasilkan program-program yang membawa manfaat bagi diri, keluarga, jamaah dan masyarakat”

Seorang a’dho yang sarjana syariah tak kalah cerdas menjawab : “Ketika semua yang terlibat dalam tarbiyah semakin meningkat dalam iltizam bisy-syari'ah. Percuma kita membangun forum-forum seperti halaqah ini, kalau komitmen terhadap syariáh tidak semakin meningkat”

Seorang A’dho yang hafalan Qur’annya paling banyak mengatakan : “Ketika ruhiyah semua yang terlibat dalam tarbiyah senantiasa tersambung dengan Zat Yang Maha Penggenggam Jiwa. Ketika dzikir menjadi santapan ruhani setiap harinya. Ketika segala aktivitas dunia tidak melalaikan akhiratnya. Ketika kematian menjadi nasihatnya. Ketika setiap aktivitas dunia diukur dengan akhiratnya”

Seorang a’dho yang manager HRD dengan sederet sertifikat pelatihan kemudian menyampaikan : “Ketika semua potensi atau fitrah yang ada dalam diri mutaroby tumbuh berkembang dengan baik yang tercermin pada pencapaian muwashofat sesuai marhalahnya. Karena muwashofat adalah indikator kualitas seorang kader tarbiyah. Akan lebih hebat lagi kalau di masa yang akan datang, capaian mutarobi melebihi murobi-nya”

Sang Murobi manggut manggut. Ia tersenyum bangga dan merasa puas karena a’dho-nya memiliki pemahaman yang mendalam. Di samping rata-rata semuanya sudah membina dan aneka program halaqah bisa berjalan dengan baik. Tidak ada yang nganggur. Dan rasa-rasanya jawaban-jawaban tadi saling melengkapi.

Tetapi, ternyata ada lagi satu a’dho yang belum memberikan jawaban. Ia kebagian paling akhir. Kebetulan a’dho ini yang paling bersahaja penampilannya. Sang muroby dengan tenang kemudian mempersilakan.

“Saya sepakat Tadz dengan jawaban di atas. Analisanya juga hebat-hebat. Sepertinya sudah terjawab semua, Tadz” begitu tanggapan Sang Mutarobi

“Apa ada sedikit tambahan dari Antum?” Sang Murobi masih belum puas.

“Tidak ada, Tadz. Sudah lengkap kalau melihat dari sudut pandang murobi. Hanya saja mungkin kita perlu melihat dari sudut pandang lain. Yaitu dari sisi siapa mutarobi kita”

“Bisa diperjelas, Akhi? Sepertinya akan menarik”

“Thoyib, Tadz. Begini... bahwa ketika mereka para mutarobi kita bergabung dengan tarbiyah. Umumnya kita menerima mereka sudah hampir jadi. Mereka adalah orang-orang baik atau hanif yang hanya perlu sedikit sentuhan nasihat untuk bergabung dengan kafilah dakwah. Bisa jadi mereka sudah lama mencari jamaa’h yang di situ kalimah Allah dijunjung tinggi, di mana syariah Allah ditegakkan, di mana ukhuwah bisa terjalin. Jadi kita tinggal mengajak saja sebenarnya. Kerja kita sebenarnya sudah Allah mudahkan dengan adanya orang-orang baik itu. Apalagi jumlah mereka juga banyak. Mereka tersebar di kampus-kampus dan kampung-kampung. Kita tinggal memasang jaring rekrutmen. Sehingga untuk kemampuan kita mentarbiyah sebenarnya belum teruji benar. Karena mentarbiyah orang-orang yang sudah baik sebenarnya relatif mudah”. Sang Mutarobi ternyata punya sudut pandang yang berbeda.

“Bisa lebih dijelaskan?” Sang Murobi jadi penasaran. Ikhwah lain pun sama. Menunggu penjelasan lanjutannya.

“Begini, Tadz. Sudahkan kita mentarbiyah orang dari kondisi yang minus? Misalnya penjahat kambuhan, pecandu narkoba, atau pembunuh bayaran?” ia justru bertanya.

“Hmm... yang jelas ana belum pernah, Akhi. Sepertinya tidak ada di sini yang pernah membimbing orang seperti itu. Tetapi bukankah memang ada prioritas amal? Bahwa membina dari kondisi negatif itu perlu banyak energi dan menghabiskan banyak waktu? Padahal masih banyak orang-orang baik yang lebih prioritas kita bina, agar semakin banyak para da’i baru yang memikul beban dakwah ini?” Jawab Sang Murobi. Semua wajah di ruangan itu kini menjadi lebih serius.

“Benar Tadz. Ana faham. Tetapi kita sedang berbicara tentang sehebat apa kita membina. Se-teruji apa kita sebagai murobi. Oiya, kalau yang tadi memang terlalu ekstrem,Tadz. Tetapi ada sebenarnya binaan kita yang akan jadi ukuran sehebat apa kita sebagai murobi. Dan kita semua punya binaan yang ini, Tadz” Tambahnya.

“Siapa itu Akhi?” Sang Murobi penasaran. Ia sadar mutarobi yang satu ini sering berfikir out of the box.

“Istri dan anak-anak kita Tadz!” Jawab Sang Mutarobi.

“Hmm, lanjutkan Akhi!” Sang Murobi mulai menebak arah pembicaraan. Tapi ia persilakan untuk melanjutkan...

“Karena anak-anak kita menuntut dan membutuhkan semua upaya dan proses tarbiyah dari kita. Istri kita yang melahirkannya, kita harus merawatnya, memberi makan, mencarikan baju, mengajar bicara , mengajari berjalan, menghibur di kala sedih, memberi tantangan-tantangan hidup, mengenalkan siapa Rabb-nya, siapa nabinya, mengajarkan ibadah, membaca Qur’an, calistung de el el. Mereka setiap hari ada di rumah kita. Melihat kita. Mencontoh kita. Tetapi justru di situ ada contoh di mana kita menemui kegagalan. Itulah ketika kita gagal membimbing anak-anak kita untuk sanggup memikul beban syariah ketika mereka memasuki usia baligh. Masih susah disuruh sholat. Susah sekali disuruh ikut mentoring. Susah aktif di masjid. Lemah gairah membacanya. Tidak tahu potensi dirinya. Apatah lagi mandiri secara finansial, masih jauh. Mereka belum bisa menjadi da’i untuk teman-teman sebayanya. Mereka belum mampu memecahkan masalah di lingkungannya. Bahkan ada yang phobi dengan liqo dan PKS. Ada yang baru sadar ketika sudah kuliah.

Maka, anak-anak kitalah yang lebih memerlukan semua upaya tarbiyah kita. Semua potensi kita. Sejumlah besar perhatian kita. Merekalah mutarobi kita yang sebenarnya. Merekalah penguji sebenarnya kadar ke-murobi-an kita. Walaupun mereka sekolah di sekolah IT. Kitapun tidak bisa berlepas diri karena mereka masuk pesantren. Tanggung jawab itu tetap berada di kita.

Kemudian, apakah istri kita semakin meningkat muwashofatnya? Semakin meningkat marhalah tarbiyahnya? Semakin luas wawasannya? Semakin bagus membinanya? Semakin besar kontribusi dakwahnya? ataukah justru istri kita semakin jumud justru ketika ada di rumah kita, ketika ada dalam tanggung jawab kita?

Maka hemat ana, kualitas tarbiyah istri dan anak-anak kita adalah ukuran sebenarnya dari kualitas ke-murobi-an kita. Tentunya seiring dengan kebutuhan kita untuk mentarbiyah sebanyak mungkin manusia, juga melihat bahwa semuanya kembali atas hidayah dari Allah. Begitu, Tadz” pungkas Sang Mutarobi.

“Subhanallah.....” gumam semua yang hadir. Sebagiannya ada mengusap genangan di kelopk matanya.

20 Januari 2016

Tidak ada komentar